DERMATITIS KONTAK ALERGIKA PADA PEKERJA INFORMAL PENGRAJIN PENYAMAKAN KULIT

Kamis, 27 Agustus 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengrajin penyamakan kulit adalah pekerja sector informal yang mengolah, memproses, dan penyamakkan berbagai jenis kulit binatang sebagai bahan baku / bahan utama dengan menggunakan campuran berbagai jenis bahan kimia serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional.
Proses dan mekanisme kerja pada usaha penyamakan kulit dengan menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang bermacam-macam dapat menimbulkan berbagai bahaya potensial yang mungkin timbul beserta akibatnya.
Bahan kimia yang mampu mengganggu kulit diperkenalkan setiap tahun, baik bahan kimia berupa organik maupun anorganik yang digunakan dalam industri termasuk produk natural, menyebabkan daftar bahan kimia berbahaya tidak akan berakhir.
Kontak tubuh pekerja pemyamakan kulit dengan bahan kimia dapat terjadi pada berbagai tahapan proses kerja penggunaan bahan kimia, mulai dari proses awal sampai pada pengepakan.
Pemaparan bahan kimia terhadap kulit dapat mengakibatkan gangguan berupa alergi dan iritasi dengan gejala-gejala gatal, kulit kering, kemerah-merahan, dan pecah-pecah.
Dermatitis kontak (iritan dan alergika) merupakan jenis dermatosis akibat kerja yang paling sering dijumpai. Dan untuk dermatitis kontak alergika (DKA) kurang lebih 25 -30 % dari seluruh kasus dermatitis kontak.

B. PERMASALAHAN

Apakah ada keluhan gangguan kesehatan yang umum di antara tenaga kerja penyamakan kulit dalam bentuk dermatitis kontak alergika yang berhubungan dengan factor risiko (bahan kimia) di tempat kerja.
Apakah ada factor lain yang dianggap sebagai penyebab dermatitis kontak alergika pada pekerja penyamakan kulit.

C. TUJUAN

Tujuan umum :
Meningkatkan kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal pengrajin penyamakan kulit.

Tujuan khusus:
1. Diketahuinya prevalensi dermatitis kontak alergika pada pengrajin penyamakan kulit.
2. Diketahuinya hubungan antara penggunaan bahan kimia pada pengrajin penyamakan kulit dengan dermatitis kontak alergika.
3. Diketahuinya faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak alergika pada pengrajin penyamakan kulit.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PAJANAN/KELOMPOK PEKERJA

Dermatitis kontak alergika yang dikaitkan dengan tempat kerja dapat terjadi karena beberapa tahap, pekerja mungkin terpajan secara terus menerus dengan zat kimia/ allergen tanpa menunjukkan gejala apapun yang berlangsung seumur hidup atau beberapa hari saja.
Pengaruh allergen tergantung pada kemampuannya mengubah permukaan luar lapisan kulit yang bekerja sebagai barier pertahanan kulit terhadap bahan beracun.
Beberapa bahan kimia mampu menyingkirkan lemak, minyak serta air dari lapisan terluar kulit yang dengan sendirinya mengurangi daya proteksi kulit dan membuat zat itu lebih mudah berpenetrasi ke dalam kulit.
Alergi kulit benar-benar terjadi dengan proses yang disebut dengan sensitisasi yang dimulai dengan masuknya allergen ke dalam lapisan terluar kulit. Proses ini berlangsung beberapa hari sampai sekitar tiga minggu. Selama periode ini berlangsung belum ada tanda perusakan kulit.
Saat penetrasi terjadi, bahan kimia bergabung dengan protein kulit kemudian dibawa oleh lekosit (limfosit T) ke seluruh tubuh.
Factor utama untuk timbulnya dermatitis kontak alergika adalah kondisi kulit yang sudah ada, seperti goresan atau garukan akan memudahan bahan kimia masuk ke dalam kulit.
Factor keturunan mempengaruhi timbulnya reaksi kepada tenaga kerja yang bervariasi meskipun disebabkan oleh allergen yang sama.
Factor lingkungan memiliki peranan penting, misalnya lingkungan kerja yang panas menyebabkan berkeringat yang dapat melarutkan beberapa jenis serbuk kimia serta meningkatkan toksisitasnya.
Udara kering dapat menyebabkan kulit retak-retak dan meningkatkan kemungkinan alergi.
Friksi terhadap kulit dapat juga mengabrasi mengelupaskan kulit, hal ini dapat mengurangi kerja proteksi kulit terhadap allergen bahan kimia.

2. PENYAKIT/GANGGUAN KESEHATAN

Dermatitis Kontak Alergika adalah dermatitis yang terjadi pada kulit seseorang yang telah tersensitisasi akibat kontak ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik antigenik. Bahan dari luar baik berupa bahan alergen ataupun mikro-organisme akan menimbulkan reaksi tubuh terhadap benda asing tersebut. Reaksi tubuh pada dermatitis kontak alergika merupakan proses immunologic yaitu hipersensitivitas jenis lambat atau immunitas dengan perantara sel limfosit T jenis IV.
Limfosit T merupakan bagian dari sistem immun yang melindungi tubuh dari kuman atau benda asing. System immune memiliki memori untuk mengenali dan menetralkan kuman atau benda asing yang masuk ke tubuh lebih dari sekali, kalau terpajan ulang limfosit mengenali allergen dan bereaksi dengannya dan juga dilepaskannya zat kimia yang merusak jaringan yang disebut histamine/limfokin.
Histamine ini menyebabkan peradangan pada kulit local dengan gejala rasa gatal, nyeri, eritema, urtika, dan pembentukan vesikel atau bulla pada kulit sebagai bentuk dermatitis kontak alergika.
Peradangan disebabkan reaksi alergi sebagai akibat substansi atau bahan kimia di tempat kerja yang bersentuhan langsung dengan kulit.
Peradangan/inflamasi biasanya terbatas pada tempat kontak dengan allergen, tetapi pada kasus yang berat dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh. Biasanya dimulai dalam 12 jam sejak terpajan dan akan memburuk setelah 3 sampai 4 hari, dan secara lambat akan membaik dalam waktu 7 hari.
Alergi dapat berlangsung seumur hidup, bila tidak ada kontak lanjutan dengan allergen, tingkat sensitivitasnya secara lambat akan menurun.
Tanda dan gejala dermatitis kontak alergika secara subyektif dapat berupa tanda-tanda peradangan terutama rasa gatal, kenaikan suhu, eritema, dan gangguan fungsi kulit.
Secara obyektif dibagi menjadi dermatitis kontak alergika (DKA) akut, subakut dan kronik biasanya dapat dilihat batas kelainan yang tidak jelas dan bentuk polimorfi dapat timbul secara serentak atau berturut-turut.
Pada dermatitis kontak alergika akut timbul eritema, papula dan edema, tahap selanjutnya terjadi infiltrasi yang biasanya terdiri atas vesikel dan menjadi erosi, krusta serta skuama, lesi berbentuk polimorfi.
Pada dermatitis kontak alergika kronik lesi berupa likenifikasi dan hiperpigmentasi, sedangkan untuk dermatitis kontak alergika subakut gambaran klinisnya merupakan gabungan keduanya.
Lokasi biasanya terjadi pada bagian yang sering kontak dengan bahan allergen pada saat bekerja misalnya pada tangan, lengan bawah, muka, leher dan kaki.

3. PAJANAN DENGAN PENYAKIT

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa penyebab dermatitis kontak alergika adalah bahan yang bersifat haptenik berupa protein maupun non-protein. Hapten merupakan bahan dengan berat molekul rendah (500-1000) yang dapat masuk epidermis melalui lapisan tanduk, saluran kelenjar keringat dan folikel rambut. Hapten akan berikatan atau berkonjugasi dengan protein jaringan membentuk komplek lebih besar (berat molekul lebih dari 5000) yang setabil dan bersifat antigenik.
Bahan yang mengandung hapten adalah bahan kimia, zat warna, bahan logam, minyak, resin, ter, karet, kosmetik, insektisida, dll.
Lokasi dermatitis kontak alergika akibat kerja biasanya terjadi pada bagian yang sering kontak dengan bahan allergen pada saat bekerja misalnya pada tangan, lengan bawah, muka, leher dan kaki.
Gejala yang timbul pada dermatitis kontak alergika akibat bahan kimia tidak berbeda dengan dermatitis kontak lainnya.

4. HASIL PENELITIAN

Insiden dan prevalensi dermatitis kontak alergika pada masyarakat tidak diketahui secara pasti, namun dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa dermatitis kontak iritan lebih banyak ditemukan dari pada dermatitis kontak alergika.
Pada tahun 1994 Toby Mathias menyatakan bahwa 80-90 % dari seluruh penyakit kulit akibat kerja berupa dermatitis kontak dan 5 % lainnya terjadi karena infeksi.
Survey dilakukan oleh US Bureau of Labour Statistics(BLS) pada tahun 1999 didapatkan insidens kecelakaan serta penyakit akibat kerja. Semua penyakit dan kelainan kulit akibat kerja, 90-95 % merupakan dermatitis kontak akibat kerja dari semua dermatosis akibat kerja.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja penyamakan kulit di Semarang pada tahun 1995 menunjukkan bahwa angka kejadian dermatitis kontak iritan 57,1% lebih besar bila dibandingkan dengan dermatitis kontak alergika 42,9 %.


BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis dermatitis kontak alergika didasarkan atas dasar anamnesis yang jelas, cermat, teliti, terperinci secara tajam, dan riwayat penyakit, serta bentuk gejala klinis yang terjadi.

Pada wawancara yang perlu dipertanyakan adalah riwayat pekerjaan sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis pajanan termasuk MSDS (material safety data sheets) berapa lama penderita bekerja dihubungkan dengan mulai timbulnya pertama kali, riwayat pengebatan sebelumnya, keadaan penyakit saat libur, riwayat penyakit kulit sebelum bekerja, apakah tenaga kerja yang lain mengalami hal yang sama. Dan apabila diagnosa dermatitis kontak alergika meragukan perlu konsultasi dengan spesialis kulit.

Pemeriksaan fisik sangat penting, dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit sering dapat di ketahui kemungkinan penyebabnya.

Selain wawancara dan pemeriksaan klinis, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, antara lain dengan uji tempel (patch test) dilakukan dengan menempelkan bahan yang dicurigai dengan bentuk dan konsentrasi yang benar pada kulit normal. Uji tusuk (prick test) dilakukan dengan meneteskan bahan allergen pada kulit yang sebelumnya sudah ditusuk /digores, pemeriksaan mikrobiologi, dan biopsy kulit diperlukn antara lain untuk memastikan diagnosa dermatitis kontak alergika.

Upaya pencegahan dermatitis kontak alergika perlu dilakukan secara menyeluruh meliputi bahan kimia penyebab alergi, kontrol proses produksi bahan kimia yang dicurigai, perlindungan perorangan pekerja, hygiene perorangan dan lingkungan, peraturan penggunaan bahan kimia di tempat kerja, edukasi pekerja, pemeriksaan kesehatan sebelum dan selama bekerja secara berkala.

Metode kontrol secara teknis untuk menghindarkan tenaga kerja dengan bahan berbahaya. System ventilasi (exhaust fan) local/setempat harus dllakukan bila menggunakan bahan kimia beracun yang dapat mengalir keruang kerja. Bahan berbahaya sedapat mungkin diganti dengan bahan yang kurang /tidak berbahaya. Diharuskan pemberian informasi kepada tenaga kerja mengenai sifat bahan kimia pemajan yang mereka hadapi sehari-hari dan bagaimana bekerja dengan bahan tersebut secara aman.

Penyediaan kamar bilas, toilet dan pancuran air ditempatkan di lokasi yang mudah dicapai, dengan air hangat, handuk sekali pakai, dan sabun yang cukup.

Mensosialisasikan program menghindari pajanan bahan kimia terhadap kulit adalah hal yang sangat penting untuk mengeliminisasi dermatitis kontak alergika.

Pengobatan dengan kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka waktu pendek untuk mengatasi peradangan, sedangkan pada DKA ringan cukup dengan pemberian obat topical. Pada yang DKA subakut dan kronik diberikan kortikosteroid topical, antihistamin, dan antibiotika bila ada infeksi sekunder.

Prognosis pada umumnya baik tidak fatal dan tidak perlu hospitalisasi, bila bahan kontak dapat dihindarkan 25 % sembuh, 50 % membaik dan kambuh secara periodic, 25 5 menetap.

Tindakan rehabilitasi diberikan agar pasien dapat kembali lagi bekerja di tempat semula, bila terjadi kecacatan kulit permanen pertimbangkan untuk pindah kerja di unit lain yang tidak berhubungan dengan bahan kimia.

Kecacatan kulit permanent ditetapkan berdasarkan kelainan kulit, kebutuhan terapi dan keterbatasan dalam melakukan aktifitas.


BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dermatitis kontak alergika akibat kerja merupakan kelainan yang dapat menyebabkan keterbataan aktivitas, kerugian materi, kehilangan waktu bekerja sampai dengan cacat serius pada tenaga kerja yang mengalaminya.

Pada penyakit ini diagnosis ditegakkan terutama dengan wawancara yang cermat dan teliti di bantu dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Pencegahan secara menyeluruh dan terkoordinasi di antara pekerja dan perusahaan serta peraturan yang mendukung, merupakan kunci keberhasilan untuk menekan terjadinya dermatitis kontak alergika akibat kerja. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi inflamasi, nyeri, dan gatal dapat dipilih kortikosteroid topical yang aman dan juga antihistamin oral yang tidak menyebabkan rasa mengantuk.

DAFTAR PUSTAKA

  • Adam RM. Occupational Skin Diseases. W.B. Saunders Company. Philadelphia , 1990.
  • Levy BS and Wegman DH. Ocupational Health : Recognizing and preventing work-related disease and injury. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia , 2000.
  • Zenc C, Dickerson OB, Horvath EP, editor. Occupational Medicine. Missouri : Mosby-Year Book Inc, 1994.
  • Hudyono J. Dermatosis akibat kerja. Majalah Kedokteran Indonesia . November 2002.
  • Tedjoseputro D dan Soebaryo RW. Imunopatogenesis Dermatitis Kontak Alergik. MDVI 1984.

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
Powered By Blogger