SNI Wajib Jurus Pamungkas

Rabu, 16 Desember 2009

JAKARTA - Pengusaha dalam negeri telah menyiapkan tameng terakhir dalam berupaya menekan ekses terburuk dari perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA). Bentuknya, dengan penerapan standar nasional Indonesia (SNI) wajib bagi semua produk lokal yang merasa belum siap.

Hal ini dilakukan jika skenario pertama proses negosisasi penundaan yang sedang diupayakan pemerintah berujung nihil alias tidak dikabulkannya penundaan oleh negara-negara ASEAN maupun China.

"Skenario keduanya penerapan SNI wajib dan memakai instrumen safeguard sesuai yang ada di perjanjian," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Benny Soestrisno saat ditemui di kantor Kadin, Jakarta, Kamis (10/12).

Kepala Badan Standarisasi Nasional Bambang Setyadi mengatakan, pihaknya siap-siap saja menyiapkan standar SNI bagi semua produk yang diinginkan oleh dunia usaha. "Soal wajib nggak itu kan regulator, kalau terkait produk industri, oleh Depperin. Soal laboratorium, nanti ada KAN (komite akreditasi nasional) akan mengakreditasi laboratorium mana saja yg bisa untuk pengujian produk agar sesuai standar," jelas Bambang.

Ia menjelaskan, proses pembuatan SNI jika dilakukan secara normal setidaknya memerlukan waktu 2 tahun, namun jika standarnya sudah ada di dunia internasional maka hanya tinggal mengadopsi paling cepat 6-8 bulan.



Tak Perlu Ditunda

Sementara pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri mengatakan, tidak perlu dilakukan penundaan perdagangan bebas ASEAN-China. Alasannya, tidak semua barang akan masuk ACFTA pada 1 Januari 2010.

"Gimana mau minta penundaan, waktunya kan tinggal sebentar lagi. Lagipula kalau diminta penundaan pasti China akan minta kompensasi lebih.” katanya.

Ia mengatakan, ada pengelompokkan produk industri mana saja yang akan dilepas 1 Januari 2010 dan beberapa tahun yang akan datang. “Ada namanya normal track 1, normal track 2, ada namanya sensitive list, dan ada highly sensitive list,” jelasnya.

Bagi industri yang masuk ketegori normal track tarif masuknya maksimum 5%. Baru di tahun 2012 semua tarif masuk 0%.

Faisal mencontohkan, industri tekstil yang berada di kategori sensitive list tidak akan menghadapi ACFTA tahun depan. “Jadi tidak ikut skim penurunan (tarif masuk) yang dimaksudkan tahun depan,” kata dia.

Bagi barang yang masuk kategori normal track baru pada tahun 2012 dikenakan tarif masuk 0%, barang masuk kategori sensitive list di tahun 2012 menjadi 20% sedangkan 2018 menjadi 0-5%, dan barang yang masuk kategori higly sensitive risk tahun 2015 tarifnya menjadi 50% bagi produk yang pada tahun 2001 tingkat tarifnya di atas 50%.

Faisal memaparkan barang-barang Indonesia yang masuk kategori sensitive list ada 304 jenis diantaranya barang jadi kulit, alas kaki, kacamata, alat musik, mainan-boneka, alat olah raga, alat tulis, besi dan baja, spare part, alat angkut, glokasida dan alkaloid nabati, senyawa organic, antibiotic, kaca, barang-barang plastik.

Sedangkan yang masuk kategori high sensitive risk ada 47 Produk diantaranya produk pertanian, seperti beras, gula, jagung dan kedelai, produk industri tekstil dan produk tekstil, produk otomotif, produk ceramic tableware. mj2

Surabaya Post online

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
Powered By Blogger