Teknologi Pembuatan Kulit Abad Petengahan

Jumat, 28 Agustus 2009


Perdagangan barang-barang terbuat dari kulit begitu meluas di pertengahan abad ke-13M


Selain dikenal sebagai produsen tekstil terkemuka, peradaban Islam di kekhalifahan juga sangat masyhur dengan aneka produk kulit. Sejatinya, manusia telah mengenal dan menggunakan kulit jauh sebelum industri tekstil berkembang. Tak heran jika proses pengubahan kulit mentah (skin) menjadi kulit (leather) pun berkembang di setiap peradaban.

''Sejak abad ke-5 H atau 11 M, para perajin Muslim telah berhasil meningkatkan teknik pabrikasi atau pembuatan kulit,'' ungkap Ahmad Y al-Hassan dan Donarld R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated. Bahkan dari merekalah muncul sejumlah kumpulan praktik-praktik pengerjaan kulit yang sudah terbukti keandalannya.

Menurut al-Hassan dan Hill, teknologi pembuatan kulit yang dikuasai para perajin di kota-kota besar Islam telah ditransfer kepada peradaban Barat. Sejak abad ke-11 hingga 19 M, prinsip dasar produksi kulit masih menerapkan teknik-teknik yang dikembangkan masyarakat Muslim di era keemasan.

Industri kulit tumbuh sangat pesat di beberapa negeri Islam. ''Bahkan ada negeri Islam yang mampu mengekspor aneka produk kulit dalam jumlah yang sangat besar,'' tutur al-Hassan dan Hill. Menurut al-Hassan, sentra produksi pembuatan kulit yang paling penting di dunia Islam adalah Yaman. Selain itu, ada beberapa kota lainnya seperti al-Tha'if di Hijaz serta Kordoba dan Maroko.

Kairo juga tercatat sebagai sentra perdagangan dan pabrikasi kulit. Sebenarnya, kata al-Hassan, hampir seluruh kota di dunia Islam memiliki industri kulit. ''Sungguh perdagangan barang-barang terbuat dari kulit begitu meluas di pertengahan abad ke-13 M,'' imbuh al-Hassan, seorang sejarawan sains Arab pada Universitas Toronto.

Industri kulit menjadi sumber pendapatan bagi kota-kota Islam. Pada abad ke-13 M, pajak yang ditarik dari industri penyamakan kulit di kota Aleppo tercatat melebihi jumlah total pajak dari industri-industri yang lain. Menurut al-Hassan, dunia Islam di era kejayaannya telah mampu memproduksi aneka produk dari kulot seperti; garmen, sandal, sepatu dan boot, tas, kantung, wadah air, emper, saringan, instrumen musik serta banyak lagi.

Al-Hassan mengungkapkan, sebagian besar keahlian dan keterampilan membuat produk-produk kulit itu telah diklasifikasikan dalam manual para muhtasib yang mengontrol mutunya. Dalam kitab Ma'alim Al-Qurba (Tugas Muhtasib), dicontohkan, seorang muhtasib bertugas untuk memberi instruksi serta mengontrol kualitas alas kaki, dan spesifikasinya. Bahan kulit yang digunakan pun dipilih secara ketat, yakni kulit yang telah disamak dengan baik.

"Mereka akan memberi peringatan bila penyamakan kulit dilakukan secara tak sempurna. Selain itu, muhtasib juga akan menetapkan kualitas dan jenis benang hingga jarum yang akan dipakai,'' papar al-Hassan dan Hill. Tak heran, jika kulitas aneka produk kulib buatan peradaban Islam dikenal sangat berkualitas. Itu karena pembuatannya dilakukan secara profesional.

Menurut al-Hassan, salah satu produk penyamakan Arab yang paling terkenal adalah selempang kulit dari Cordoba, Andalusia. Menurut al-Hassan, popularitas selempang dari Cordoba sangat dikagumi dan dikenal di seluruh benua Eropa. Selempang itu sudah mulai diproduksi sejak abad ke-5 H atau ke-11 M. Pengrajin kulit Muslim menggunakan kulit mouflon sebagai bahan dasarnya.

Al-Hassan dan Hill mengungkapkan, mouflon adalah kulit sejenis domba berbulu dengan tanduk seperti biri-biri dan kulit seperti rusa jantan -- kini hidup di Korsika dan Sardinia. Menurutnya, orang-orang Spanyol menggunakan prosedur yang berbeda untuk membuat barang-barang kulit.

Ada yang memproses penyamakan nabati dengan menggunakan sumac dan ada pula penyamakan mineral menggunakan tawas. Saat itu, produk kulit yang sangat berharga berwarna merah tua. Prosesnya didapat dari penyamakan dengan tawas, kemudian menyelupnya dengan bahan yang berasal dari genus Kermes.

Selain itu, industri alas kaki seperti sepatu dan sandal juga merupakan industri termasyhur saat itu. Misalnya dari Kordoba, teknik-teknik khusus yang mencakup penyamakan mineral, penyamakan dengan sumac atau kombinasi keduanya, dan proses akhir menggunakan minyak. Industri itu kemudian menyebar ke Maroko.

Dari kedua kota Islam itu, rahasia kerajinan kulit itu mulai tekuak dan menyebar hingga Eropa. "Tatahan 'cordovan' dan 'morocco' yang digunakan pada sebagian barang kulit Eropa menyimbolkan alih teknologi itu. Teknik itu masih tetap dipakai hingga abad ke-19," kata al-Hassan dan Hill. dessy susilawati

Proses Pembuatan Kulit

Mengolah kulit mentah menjadi kulit yang dikembangkan peradaban Islam memerlukan beberapa tahapan. Dalam manuskrip-manuskrip Arab tercatat ada tiga tahapan yang harus dilalui. Ketiga tahap pembuatan kulit itu antara lain, persiapan kulit mentah untuk disamak, setelah itu dilakukan penyamakan, terakhir proses finishing kulit yang telah disamak.

Persiapan Kulit
Kulit mentah atau jangat yang akan dibuat kulit harus dibusukkan. Namun proses pembusukan ini harus ditunda dulu dengan menggunakan garam yang kita kenal sebagai bahan pengawet. Garam ini kemudian ditaburi di atas jangat, setelah itu dijemur di bawah terik matahari. Setelah jangat tersebut kering lalu dibawa ke penyamak. Se telah itu, jangat direndam dengan air untuk menghilangkan kotoran hewan, tanah dan zat albumin.

"Lalu jangat tersebut direaksikan dengan kapur untuk membuka teksturnya dan melunakkan rambut-rambut yang menempel, kemudian rambut ini dihilangkan dengan kerokan khusus berbentuk cekung berujung tumpul," jelas al-Hassan dan Hill.

Sisa daging yang mungkin masih melekat pada jangat tersebut, harus dibersihkan dengan pisau daging bergagang dua yang dirancang khusus. "Penghilangan daging ini ada kalanya memerlukan aplikasi perlakukan khusus yang disebut 'swelling' (pembengkakan),'' ungkap al-Hassan dan Hill.

Seperti dijelaskan di atas, teknik persiapan ini sangat bervariasi tergantung tipe jangat yang digunakan. Persiapan yang dilakukan akan berbeda dan ada ciri khas dari masing-masing bahan yang digunakan.

Penyamakan

Setelah jangat dikeringkan dan bersih dari kotoran, rambut maupun daging sisa, barulah dilakukan proses penyamakan. Proses ini bertujuan untuk mengubah jangat menjadi kulit. Penyamakan ini akan mengubah zat-zat kimia yang ada pada jangat. Tentu saja ini bertujuan untuk mencegah penguraian dan membuatnya tahan air, namun tetap mempertahankan strukturnya yang berserat.

"Proses penyamakan dibagi menjadi tiga bagian, pertama proses minyak atau 'chamoising', kedua proses mineral atau 'tawing', dan terakhir penyamakan nabati," papar Al-Hassan dan Hill. Menurut al-Hassanl, metode ini telah digunakan para penyamak Muslim sejak abad pertengahan. Biasanya mereka menggunakan secara terpisah ataupun mengkombinasi tiga metode tersebut.

Proses minyak atau 'chamoising'. Pada proses ini jangat dilunakkan menggunakan bahan-bahan berlemak. Hasil dari pelunakan tersebut disebut 'chamoising'. Kata 'chamoising' ini berasal dari bahasa Prancis 'chamois' yang berarti kambing gunung dari pegunungan Alpen. "Jenis kambing bisa jadi sangat tidak dikenal atau sukar diperoleh," jelas al-Hassan dan Hill.

Al-Hassan memperkirakan asal kata 'chamois' itu dari bahasa Arab yakni shahm, yang berarti lemak. Penyamakan mineral atau 'tawing', dilakukan dengan tawas. Penyamakan mineral merupakan tahapan penting dalam teknologi pembuatan kulit di dunia Islam. Teknik-tekniknya telah tertuang dalam manuskrip-manuskrip Arab.

Dalam manuskrip Arab itu dijelaskan cara penggunaan tawas dan garam. Selain itu juga dipaparkan berbagai penambahan bahan-bahan lain seperti barley atau gerst (jenis gandum yang dipakai untuk membuat bir), tepung dan yoghurt. "Beberapa sumber Arab juga menjelaskan penyamakan menggunakan tawas yang diikuti pembaceman (impregnation) dengan lemak," kata al-Hassan dan Hill.

Namun, manuskrip-manuskrip Arab tersebut menyebutkan proses penyamakan yang terpenting adalah penyamakan nabati. Dalam beberapa manual untuk para muhtasib -- pengawas perdagangan era abad pertengahan -- dijelaskan bahwa untuk penyamakan kulit kambing, masyarakat pada era itu lebih menyukai menggunakan tanaman qanat (Mimosa Nilotica) yang berasal dari Yaman dibanding berbagai jenis biji-bijian. Namun, sejumlah bahan nabati lain juga digunakan untuk penyamkan nabati, seperti tanaman sumac (genus Rhus dari suku Anarcadiaceae).

Proses Akhir
Agar kulit tampak cantik dan menarik dilakukanlah tahap finshing (tahap akhir). Selain untuk memperbaki penampilan, proses akhir ini juga berfungsi untuk memberikan sifat khusus. "Metode yang dipilih bergantung pada produk akhir dan termasuk juga penyelupan, sehingga didapatkan barang-barang dalam rentang warna yang luas, meliputi merah, coklat, biru, hijau zaitun, kuning, dan hitam" ungkap al-Hassan dan Hill. she/taq

By Republika Newsroom

Pentingnya Desain Tas Kulit

Dalam dunia industri kerajinan, desain produk barang sangat berperan, di samping proses produksi maupun pemasarannya. Dengan desain menarik dan elegan, sangat mungkin konsumen akan semakin terpikat untuk membelinya. Sayangnya, selama ini para perajin kebanyakan belum banyak yang memperhatikan tentang pentingnya desain untuk sebuah produksi.


Umumnya pula mereka menganggap, desain adalah milik pemesan, dalam pengertian pemesanlah melakukan rancangan desain, perajin tinggal mengerjakannya. Padahal, untuk menciptakan desain baru tidaklah sulit, asalkan ada kemauan untuk kreatif dan inovatif. Ada empat hal yang harus dipikirkan dalam membuat desain barang kerajinan kulit khususnya.


Pertama, tujuan barang tersebut dibuat berkait dengan fungsinya. Salah satu contoh misalnya, untuk membuat desain tas, jangan sekadar memikirkan tas dimaksud sebagai wadah. Tak kalah pentingnya, memikirkan untuk wadah apa tas tersebut dibuat (fungsi barang). Ada berbagai jenis dan fungsi tas, misalnya tas untuk ke kantor, tas sekolah, atau tas hanya untuk saat-saat santai. Bahkan secara khusus, belakangan ini, ada tas untuk laptop, alat-alat perbengkelan, dan banyak lagi jenis sesuai fungsi dan kegunaannya.


Kedua, bahan yang akan digunakan untuk barang tersebut. Pengetahuan akan bahan sangat berpengaruh terhadap obyek barang yang akan dibuat. Bila kita membuat sebuah produk kerajinan yang menonjolkan nilai fungsi, maka bahan yang akan kita gunakan juga harus menyesuaikan kegunaan dari barang tersebut. Ambil contoh, dalam membuat kap lampu atau tempat lilin yang berbahan dasar kulit perkamen. Kita harus memahami karakteristik kulit perkamen, ketahanan fungsinya, serta keunggulan dan kekurangannya.


Bila produk tersebut akan diekspor, kita juga harus memperhatikan ketahanan suhu atau cuaca di saat barang tersebut akan dipasarkan. Karena bila kita, misalnya, berorientasi untuk memasarkan produk tersebut untuk konsumen Eropa, maka masalah yang ekstrim adalah soal perbedaan suhu. Dan ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kelembaban yang akan ada kemungkinan perubahan secara fisik pada produk yang dibuat. Itulah sebabnya pengetahuan mengenai bahan untuk mendesain sebuah produk harus juga dipikirkan.


Ketiga, metode pengerjaannya. Apakah akan dikerjakan secara manual atau mesin, dengan alat sederhana atau dengan alat yang berteknologi tinggi. Ini penting, karena sangat terkait erat dengan kalkulasi biaya yang akan dikeluarkan untuk proses pembuatan produk barang kerajinan. Metode pengerjaan juga dapat menjadi aksen yang menarik dari sebuah produk barang jadi. Ada kalanya konsumen lebih memilih barang yang dibuat secara manual (handmade).


Dan keempat, fashionable. Barang yang kita buat menarik atau tidak, dapat diterima konsumen atau tidak, mengikuti tren atau tidak. Hal ini sangat penting juga kita pikirkan. Begitu pentingnya sebuah desain produk/product design sebuah barang kerajinan. Apakah itu kerajinan tangan atau kerajinan dengan menggunakan teknologi canggih. Desain yang menarik bisa mendongkrak harga sebuah kerajinan tangan.

http://majalah-handicraft.jogja.com

Libur Panjang Harga Murah, Omset Pengrajin Kulit Magetan Naik 300 %

Magetan – Jika anda merasa kolektor kerajinan kulit dan berkunjung ke obyek wisata alam terbesar di ujung barat Jatim yakni Telaga Sarangan Magetan yang berada di kaki Gunung Lawu belum lengkap kalau lupa untuk singgah ke kawasan sentra industri kulit Jalan Sawo. Selain terkenal harga yang sangat murah, berbagai macam bentuk dan model kerajinan kulit bisa anda miliki untuk menambah koleksi juga bisa untuk oleh – oleh keluarga.

Kismanto (40) salah satu pengunjung asal Mojokerto yang usai dari sarangan mengaku sangat senang membeli sepatu di sentra kulit Sawo karena harganya yang murah untuk dipakai keluarga.

“Saya dua kali beli mas, ini tadi dari rekreasi ke Sarangan rugi kalau ndak mampir kesini,” jelas Kismanto.

Budi Ridwan (35) Ketua sentra kerajinan kulit Jalan Sawo magetan kepada moderatofm.com Selasa (27/1/2009) kemarin, pengunjung biasanya rame pada sat libur panjang sehingga omset penjualanpun naik 300 %. Jika hari libur biasa omsetnya hanya 2 – 3 juta namun pada hari libur panjang mencapai 9 juta sehari.

“Alhamdulillah mas, kalau hari libur kayak kemarin bias 9 juta omset saya sehari karena harganya yang sangat murah jika disbanding didaerahnya,” jelas Budi pemilik kios Toko Kerajinan kulit UD Praktis tersebut.

Budi menambahkan bahwa selain membuka kios dirinya juga memproduksi kerajinan kulit sendiri dengan melibatkan 20 karyawan untuk melayani permintaan pengiriman ke luar daerah seperti Yogya, Jakarta, Bojonegoro, Pacitan serta Surabaya. Sehingga bagi anda yang tidak sempat singgah di Magetan jhuga bias membeli di luar daerah.

“Kita juga layani pesanan luar daerah dengan omset setiap minggu mencapai 250 pasang,” tambah Budi. Dalam sehari pada hari libur panjang penghasilannya mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta.

Anda tak usah khawatir soal harga karena terbilang sangat murah untuk standar kerajinan kulit di tanah air. Untuk sepatu harganya berkisar antara Rp 90 ribu – 140 Ribu, sandal Rp 60 ribu – 90 ribu, Jaket Rp 700 – Rp 800 ribu, Dompet Rp 20 – Rp 100 ribu.

Lokasi Sentra industri kerajinan kulit Jalan Sawo Magetan sangat mudah dicarinya. Jika anda akan menuju Sarangan dari arah jatim selalu melewati Jalan Sawo yang ada di Kelurahan Selosari Kec/Kota Magetan atau 1 Km dari pasar baru. Namun jika anda dari arah Jateng anda harus turun kea rah Kota Magetan sekitar 12 Km.


http://moderatofm.com

Berkunjung ke Sentra Kulit Selosari, Produk Home Industri Kualitas ala Pabrik

MAGETAN- Berkunjung ke Telaga Sarangan Magetan yang berada di kaki Gunung Lawu rasanya belum lengkap kalau belum singgah ke kawasan sentra industri kulit Selosari, Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan.

Sentra industri kulit ini berada di jalur menuju ke Telaga Sarangan. Di kawasan ini, puluhan perajin membuat produk sepatu, sandal, tas dan aksesoris berbahan kulit lembu dengan cara tradisional.

Bahan kulit lembu didapatkan dari Magetan dan sekitarnya, kemudian di olah (samak) dengan peralatan sederhana, dikeringkan, lalu dijadikan bahan kulit. Tentu saja soal keawetan bahan kulit ini terjamin.

Tentu saja karena dari bahan kulit lembu asli dan dikerjakan secara tradisional, maka soal harga produk kulit di kawasan ini sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan produk pada umumnya. Contohnya harga jaket kulit di sejumlah showroom harganya berkisar Rp 400 ribu, sedangkan pernak-pernik unik dihargai sekitar Rp1.200 hingga Rp 25 ribu per item. Harga tas dari bahan kulit lembu asli berkisar Rp 100 ribu hingga Rp700 ribu per item.

Menurut Suwarni Susanto (52), perajin kulit lembu di Sentra Kulit Selosari, mengungkapkan, produk kerajinan kulit yang ada di sentra ini dijamin kualitas dan keasliannya. “Semua asli dari bahan kulit lembu. Jadi, wisatawan jangan kuatir kalau membeli produk tas, sepatu, atau sandal disini,” ungkapnya, kemarin.

Dia mengaku, pada saat hari biasa bisa menyediakan 1.700 item produk kulit mulai sepatu, sandal, tas hingga dompet. Sedangkan, pada saat musim liburan atau mendekati lebaran, biasanya dia menambah item produknya menjadi 2.000 – 2.200 item. “Selera pembeli itu bermacam-macam. Oleh karena itu kami sediakan produk kulit bermacam-macam pula. Meski usaha kelas home industri tapi soal gaya dan koleksi, produk kami tidak mau ketinggalan dengan produk pabrikan,” tuturnya.

Sedangkan menurut Hariyani (23), pengunjung di kawasan sentra industri kerajinan kulit, mengaku, ia sengaja datang ke kawasan ini untuk membeli sepatu kulit khas Magetan untuk oleh-oleh pulang ke rumahnya di Surabaya. “Modelnya bagus-bagus, tidak kalah dengan produk sepatu atau sandal dari pabrikan. Apalagi ini, kulit asli jadi enak dipakainya,” tandas wisatawan asal Surabaya itu, sambil mencoba salah satu produk sepatu .

Disinggung soal harga, pihaknya tidak masalah. “Harga kan relatif, Mbak. Dibilang mahal, tapi kalau mutunya bagus dan modelnya gak kuno, ya tidak masalah,” ungkapnya. Hariyani menambahkan, pihaknya cukup puas berbelanja souvernir di sentra kulit Selosari.


http://moderatofm.com

Pre Treatment Limbah Lingkungan Industri Kulit (LIK) Magetan Belum Maksimal

MAGETAN– Guna menanggulangi limbah, industri penyamakan kulit di kawasan Lingkungan Industri Kulit (LIK) Magetan memakai proses pre treatment. Cara ini menjadi andalan utama IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) guna menanggulangi timbulnya bau tak sedap yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat sekitar, meski belum maksimal.

Kepala BPTIK LIK Magetan, Sutarman, mengatakan, penggunaan proses pre treatment telah disepakati bersama oleh para pengusaha penyamak kulit.

“Dalam rapat bersama tanggal 28 Oktober kemarin, pengusaha LIK Magetan telah berkomitmen akan membuat pre treatment,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (30/10).

Menurutnya, sejauh ini penggunaan pre treatment oleh pengusaha penyamakan kulit di LIK Magetan telah mencapai 70 persen. Namun meski demikian, Sutarman mengakui jika limbah yang masuk ke IPAL setelah proses pre treatment masih mengandung banyak lumpur. Karena itu, pihaknya dalam waktu dekat akan menerjunkan Badan Pengolahan Kulit Karet dan Plastik (BPKKP) dari Yogyakarta .

”Minggu depan tim dari Jogjakarta akan datang mengadakan sosialisasi dengan membawa contoh desain untuk pre treatment,” terangnya.

Ditambahkan, usaha untuk menanggulangi limbah berbau tak sedap selain dengan cara pre treatment, BPTIK LIK Magetan juga akan menambah armada IPAL.

”Nantinya kami akan mengusulkan untuk dibangun satu lagi,” tuturnya. Untuk itu, pihak BPTIK LIK Magetan akan menggandeng Pemkab Magetan dan Pemprov Jatim guna mewujudkan penambahan IPAL II tahun depan.

Visibility Study untuk LIK II telah dianggarkan di tahun 2008. ”kemarin lusa kami telah mengadakan Visibility Study,” ungkapnya. Sedangkan rencana untuk pembangunan LIK II dianggarkan tahun 2009.

Sementara itu, salah satu staf industri penyamakan kulit, Sumarno, mengatakan, jika pihaknya telah mengikuti prosedur yang benar tentang proses pre treatment. Industri kulitnya sudah membuang limbahnya ke proses pre treatment terlebih dahulu sebelum akhirnya ke IPAL. ”Kami sudah membuangnya disini dulu (pre treatment) baru ke IPAL. Selain itu, kami juga rutin membersihkan endapan limbah seminggu sekali,” tandasnya.

Seperti diketahui, warga di sekitar kawasan Lingkungan Industri Kulit (LIK) Magetan dan Kali Gandong sempat mengeluhkan bau limbah kulit. Bau limbah pembuangan lingkungan industri kecil ini dinilai menggangu kenyamanan warga. Pasalnya, aroma tak sedap yang ditimbulkan limbah itu mengganggu pernafasan. Warga meminta pengusaha dan pemda setempat untuk segera mencari solusi, termasuk kemungkinan membangun IPAL baru. Sehingga tidak terjadi over capacity yang menyebabkan pengusaha LIK membuang limbah ke kali.


http://moderatofm.com

MoU Industri Kulit - Perlu Dukungan Masyarakat

Untuk mambangkik batang tarandam industri kulit di Padang Panjang Kota Serambi Mekah yang dikondisikan sebagai sentra industri kulit di kawasan Sumatera, Guna merefleksiakan itu, pemerintah Kota Padang Panjang, Pemrov Sumbar dan Dijen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka melalakukan Nota Kesepakatan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan produksi dan kualitas produk industri kulit di Kota Padang Panjang dalam rangka memberikan konstribusi bagi pertumbuhan perekonomian daerah.

Walikota Padang panjang dr. H. Suir Syam usai penandatanganan MoU dengan Dirjen Industri Kulit Logam Mesin dan Aneka dan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi di Pangeran Hotel minggu lalu mengatakan, kesempatan ini adalah peluang emas bagi Kota Padang Panjang yang dijadikan sebagai sentral industri kulit untuk wilayah sumatera setelah Jawa.

Beberapa item yang tertuang dalam MoU tersebut diantara kewajiban Pemko Padang Panjang menyediakan lokasi lahan dan gedung sebagai tempat peralatan indusri yang disediakan oleh Dirjen peindustrian, melakukan pembinaan dan pengawasan pada industri kulit dan produk kulit di Kota Padang Panjang dengan berkoordinasi dengan Pemerintah Propinsi Sumbar.

“Kita (Pemko Padang Panjang-red) mendorong industri kulit yang ada di Padang Panjang untuk memamfaatkan sarana yang tersedia secara optimal dan menciptakan iklim usaha yang mendukung pengembangan industri kulit dan produk kulit di Padang Panjang. Untuk terealisirnya itu sangat diharapkan dukungan yang saling bersinergi antara pemerintah dengan para pengrajin atau hom industri kulit yang ada di Padang Panjang khususnya dan eilayah sumatera pada umumnya, “harap Suir Syam.

Pemrop Sumbar dalam hal ini, lanjut Suir Syam, diantaranya memfasilitasi ketersediaan Detail Engeneering Design (DED) untuk pembangunan kawasan industri kulitv di Padang Panjang, menyediakan pusat desain dan workshop dan sarana promosi dan pemasaran industri barang jadi kulit di Padang Panjang dan membantu pelaksanaan pelaksanaan pengelolaan lingkungan.

“ Pemko Padang Panjang optimis program ini akan berjalan sesuai dengan harapan apabila segenap elemen proaktif mendukung, baik dari kalangan wakil masyarakat di lembaga DPRD dan lapisan masyarakat terutama pengrajin kulit. Jika ini terwujud, praktis akan maju home industri yang ada di Padang Panjang serta membuka peluang kerja bagi yang lain untuk ikutserta membuka peluang usaha baru. Maka secara otomatis perekonomian masyarakat Padang Panjang khususnya akan terangkat dengan sendirinya, “jelas Suir Syam bersemangat.

Sementara itu Kepala Dinas Koperasi UKM Perindag Kota Padang Panjang, Dra. Hj.Ernawati Nasution dalam kesempatan lain mengakui, bahwa telah tersedianya lahan yang diperuntukkan guna rencana pembangunan pabrik industri kulit mencapai 5 Ha di di Kampung Manggis, Padang Panjang.

“ Antara pabrik pengolahan kulit hingga ke tahap produksi barang jadi akan berada pada satu areal lokasi namun tidak terganggu.. Rencana awal, penyemakan kulit tetap pada lokasi yang lama di Silaing Bawah namun hasil survei dari tim ahli Dirjen Perindustrian beberapa waktu ternyata tidak layak lagi karena selain areal yang sempit juga dekat dengan pemukiman warga dan sebuah sekolah. Limbah pengolahan kulit akan berdampak pada tingkat kesehatan dan kenyamanan lingkungan warga sekitarnya. Untuk selanjutnya masih ada tahapan-tahapan merampungkan atau tindaklanjut dari MoU ini “ jelas Hj. Ernawati. (Rel-Humas)

http://padangpanjangkota.go.id

Limbah Industri Kulit Garut Cemari Lingkungan Sejak 1920

Kamis, 27 Agustus 2009

GARUT - Limbah industri penyamakan kulit di Sukaregang, Kabupaten Garut, Jawa Barat (Jabar), mencemari lingkungan sejak tahun 1920. Pemkab Garut kini terus berupaya menekan sekecil mungkin tingkat pencemaran limbah itu, terutama pencemaran di Sungai Cigulampeng dan Sungai Ciwalen.

Hal itu dikatakan Bupati Garut, Agus Supriadi, di Garut, Selasa (25/5). Disebutkannya, industri penyamakan kulit Sukaregang sudah ada sejak tahun 1920, dan dikelola secara turun-temurun oleh pemiliknya. "Kita prihatin, karena masih banyak diantara perajin penyamakan kulit yang belum memahami bahayanya proses produksi penyamakan kulit yang menggunakan bahan kimia," ujar dia.

Karena itu, kata Agus Supriadi, Pemkab Garut akan terus memberikan penyuluhan kepada para perajin penyamakan kulit setempat, serta berupaya pula menambah IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah) guna menekan tingginya tingkat pencemaran dari limbah tersebut.

Bupati menyebutkan, di kawasan industri penyamakan kulit di Sukaregang, minimal harus ada delapan hingga 10 unit IPAL. "Saat ini sudah ada tiga unit IPAL yang dibangun oleh pemerintah. Kemudian satu unit lagi yang dibangun masyarakat secara swadaya," katanya.

Ia berharap kepada para pengusaha penyamakan kulit yang sudah sukses, bersedia membangun IPAL-nya sendiri. "Jangan hanya menunggu bantuan dari pemerintah, karena dengan menunggu seperti itu, justru akan memperparah pencemaran lingkungan," tandas bupati.

Menurutnya, akan dibangun lagi satu unit IPAL berkapasitas 150 meter kubik bantuan dari Depperindag, guna menanggulangi pencemaran di Sungai Cigulampeng. Dari pemantauan Antara, sungai di Garut yang tercemar limbah tersebut airnya menyebabkan rasa gatal di kulit manusia. Limbah itu baunya tidak sedap dan sangat menyengat hidung.*


SUARA PEMBARUAN DAILY

DERMATITIS KONTAK ALERGIKA PADA PEKERJA INFORMAL PENGRAJIN PENYAMAKAN KULIT

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengrajin penyamakan kulit adalah pekerja sector informal yang mengolah, memproses, dan penyamakkan berbagai jenis kulit binatang sebagai bahan baku / bahan utama dengan menggunakan campuran berbagai jenis bahan kimia serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional.
Proses dan mekanisme kerja pada usaha penyamakan kulit dengan menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang bermacam-macam dapat menimbulkan berbagai bahaya potensial yang mungkin timbul beserta akibatnya.
Bahan kimia yang mampu mengganggu kulit diperkenalkan setiap tahun, baik bahan kimia berupa organik maupun anorganik yang digunakan dalam industri termasuk produk natural, menyebabkan daftar bahan kimia berbahaya tidak akan berakhir.
Kontak tubuh pekerja pemyamakan kulit dengan bahan kimia dapat terjadi pada berbagai tahapan proses kerja penggunaan bahan kimia, mulai dari proses awal sampai pada pengepakan.
Pemaparan bahan kimia terhadap kulit dapat mengakibatkan gangguan berupa alergi dan iritasi dengan gejala-gejala gatal, kulit kering, kemerah-merahan, dan pecah-pecah.
Dermatitis kontak (iritan dan alergika) merupakan jenis dermatosis akibat kerja yang paling sering dijumpai. Dan untuk dermatitis kontak alergika (DKA) kurang lebih 25 -30 % dari seluruh kasus dermatitis kontak.

B. PERMASALAHAN

Apakah ada keluhan gangguan kesehatan yang umum di antara tenaga kerja penyamakan kulit dalam bentuk dermatitis kontak alergika yang berhubungan dengan factor risiko (bahan kimia) di tempat kerja.
Apakah ada factor lain yang dianggap sebagai penyebab dermatitis kontak alergika pada pekerja penyamakan kulit.

C. TUJUAN

Tujuan umum :
Meningkatkan kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal pengrajin penyamakan kulit.

Tujuan khusus:
1. Diketahuinya prevalensi dermatitis kontak alergika pada pengrajin penyamakan kulit.
2. Diketahuinya hubungan antara penggunaan bahan kimia pada pengrajin penyamakan kulit dengan dermatitis kontak alergika.
3. Diketahuinya faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak alergika pada pengrajin penyamakan kulit.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PAJANAN/KELOMPOK PEKERJA

Dermatitis kontak alergika yang dikaitkan dengan tempat kerja dapat terjadi karena beberapa tahap, pekerja mungkin terpajan secara terus menerus dengan zat kimia/ allergen tanpa menunjukkan gejala apapun yang berlangsung seumur hidup atau beberapa hari saja.
Pengaruh allergen tergantung pada kemampuannya mengubah permukaan luar lapisan kulit yang bekerja sebagai barier pertahanan kulit terhadap bahan beracun.
Beberapa bahan kimia mampu menyingkirkan lemak, minyak serta air dari lapisan terluar kulit yang dengan sendirinya mengurangi daya proteksi kulit dan membuat zat itu lebih mudah berpenetrasi ke dalam kulit.
Alergi kulit benar-benar terjadi dengan proses yang disebut dengan sensitisasi yang dimulai dengan masuknya allergen ke dalam lapisan terluar kulit. Proses ini berlangsung beberapa hari sampai sekitar tiga minggu. Selama periode ini berlangsung belum ada tanda perusakan kulit.
Saat penetrasi terjadi, bahan kimia bergabung dengan protein kulit kemudian dibawa oleh lekosit (limfosit T) ke seluruh tubuh.
Factor utama untuk timbulnya dermatitis kontak alergika adalah kondisi kulit yang sudah ada, seperti goresan atau garukan akan memudahan bahan kimia masuk ke dalam kulit.
Factor keturunan mempengaruhi timbulnya reaksi kepada tenaga kerja yang bervariasi meskipun disebabkan oleh allergen yang sama.
Factor lingkungan memiliki peranan penting, misalnya lingkungan kerja yang panas menyebabkan berkeringat yang dapat melarutkan beberapa jenis serbuk kimia serta meningkatkan toksisitasnya.
Udara kering dapat menyebabkan kulit retak-retak dan meningkatkan kemungkinan alergi.
Friksi terhadap kulit dapat juga mengabrasi mengelupaskan kulit, hal ini dapat mengurangi kerja proteksi kulit terhadap allergen bahan kimia.

2. PENYAKIT/GANGGUAN KESEHATAN

Dermatitis Kontak Alergika adalah dermatitis yang terjadi pada kulit seseorang yang telah tersensitisasi akibat kontak ulang dengan bahan dari luar yang bersifat haptenik antigenik. Bahan dari luar baik berupa bahan alergen ataupun mikro-organisme akan menimbulkan reaksi tubuh terhadap benda asing tersebut. Reaksi tubuh pada dermatitis kontak alergika merupakan proses immunologic yaitu hipersensitivitas jenis lambat atau immunitas dengan perantara sel limfosit T jenis IV.
Limfosit T merupakan bagian dari sistem immun yang melindungi tubuh dari kuman atau benda asing. System immune memiliki memori untuk mengenali dan menetralkan kuman atau benda asing yang masuk ke tubuh lebih dari sekali, kalau terpajan ulang limfosit mengenali allergen dan bereaksi dengannya dan juga dilepaskannya zat kimia yang merusak jaringan yang disebut histamine/limfokin.
Histamine ini menyebabkan peradangan pada kulit local dengan gejala rasa gatal, nyeri, eritema, urtika, dan pembentukan vesikel atau bulla pada kulit sebagai bentuk dermatitis kontak alergika.
Peradangan disebabkan reaksi alergi sebagai akibat substansi atau bahan kimia di tempat kerja yang bersentuhan langsung dengan kulit.
Peradangan/inflamasi biasanya terbatas pada tempat kontak dengan allergen, tetapi pada kasus yang berat dapat menyebar ke seluruh bagian tubuh. Biasanya dimulai dalam 12 jam sejak terpajan dan akan memburuk setelah 3 sampai 4 hari, dan secara lambat akan membaik dalam waktu 7 hari.
Alergi dapat berlangsung seumur hidup, bila tidak ada kontak lanjutan dengan allergen, tingkat sensitivitasnya secara lambat akan menurun.
Tanda dan gejala dermatitis kontak alergika secara subyektif dapat berupa tanda-tanda peradangan terutama rasa gatal, kenaikan suhu, eritema, dan gangguan fungsi kulit.
Secara obyektif dibagi menjadi dermatitis kontak alergika (DKA) akut, subakut dan kronik biasanya dapat dilihat batas kelainan yang tidak jelas dan bentuk polimorfi dapat timbul secara serentak atau berturut-turut.
Pada dermatitis kontak alergika akut timbul eritema, papula dan edema, tahap selanjutnya terjadi infiltrasi yang biasanya terdiri atas vesikel dan menjadi erosi, krusta serta skuama, lesi berbentuk polimorfi.
Pada dermatitis kontak alergika kronik lesi berupa likenifikasi dan hiperpigmentasi, sedangkan untuk dermatitis kontak alergika subakut gambaran klinisnya merupakan gabungan keduanya.
Lokasi biasanya terjadi pada bagian yang sering kontak dengan bahan allergen pada saat bekerja misalnya pada tangan, lengan bawah, muka, leher dan kaki.

3. PAJANAN DENGAN PENYAKIT

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa penyebab dermatitis kontak alergika adalah bahan yang bersifat haptenik berupa protein maupun non-protein. Hapten merupakan bahan dengan berat molekul rendah (500-1000) yang dapat masuk epidermis melalui lapisan tanduk, saluran kelenjar keringat dan folikel rambut. Hapten akan berikatan atau berkonjugasi dengan protein jaringan membentuk komplek lebih besar (berat molekul lebih dari 5000) yang setabil dan bersifat antigenik.
Bahan yang mengandung hapten adalah bahan kimia, zat warna, bahan logam, minyak, resin, ter, karet, kosmetik, insektisida, dll.
Lokasi dermatitis kontak alergika akibat kerja biasanya terjadi pada bagian yang sering kontak dengan bahan allergen pada saat bekerja misalnya pada tangan, lengan bawah, muka, leher dan kaki.
Gejala yang timbul pada dermatitis kontak alergika akibat bahan kimia tidak berbeda dengan dermatitis kontak lainnya.

4. HASIL PENELITIAN

Insiden dan prevalensi dermatitis kontak alergika pada masyarakat tidak diketahui secara pasti, namun dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa dermatitis kontak iritan lebih banyak ditemukan dari pada dermatitis kontak alergika.
Pada tahun 1994 Toby Mathias menyatakan bahwa 80-90 % dari seluruh penyakit kulit akibat kerja berupa dermatitis kontak dan 5 % lainnya terjadi karena infeksi.
Survey dilakukan oleh US Bureau of Labour Statistics(BLS) pada tahun 1999 didapatkan insidens kecelakaan serta penyakit akibat kerja. Semua penyakit dan kelainan kulit akibat kerja, 90-95 % merupakan dermatitis kontak akibat kerja dari semua dermatosis akibat kerja.
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap pekerja penyamakan kulit di Semarang pada tahun 1995 menunjukkan bahwa angka kejadian dermatitis kontak iritan 57,1% lebih besar bila dibandingkan dengan dermatitis kontak alergika 42,9 %.


BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis dermatitis kontak alergika didasarkan atas dasar anamnesis yang jelas, cermat, teliti, terperinci secara tajam, dan riwayat penyakit, serta bentuk gejala klinis yang terjadi.

Pada wawancara yang perlu dipertanyakan adalah riwayat pekerjaan sehari-hari, jenis pekerjaan, jenis pajanan termasuk MSDS (material safety data sheets) berapa lama penderita bekerja dihubungkan dengan mulai timbulnya pertama kali, riwayat pengebatan sebelumnya, keadaan penyakit saat libur, riwayat penyakit kulit sebelum bekerja, apakah tenaga kerja yang lain mengalami hal yang sama. Dan apabila diagnosa dermatitis kontak alergika meragukan perlu konsultasi dengan spesialis kulit.

Pemeriksaan fisik sangat penting, dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit sering dapat di ketahui kemungkinan penyebabnya.

Selain wawancara dan pemeriksaan klinis, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, antara lain dengan uji tempel (patch test) dilakukan dengan menempelkan bahan yang dicurigai dengan bentuk dan konsentrasi yang benar pada kulit normal. Uji tusuk (prick test) dilakukan dengan meneteskan bahan allergen pada kulit yang sebelumnya sudah ditusuk /digores, pemeriksaan mikrobiologi, dan biopsy kulit diperlukn antara lain untuk memastikan diagnosa dermatitis kontak alergika.

Upaya pencegahan dermatitis kontak alergika perlu dilakukan secara menyeluruh meliputi bahan kimia penyebab alergi, kontrol proses produksi bahan kimia yang dicurigai, perlindungan perorangan pekerja, hygiene perorangan dan lingkungan, peraturan penggunaan bahan kimia di tempat kerja, edukasi pekerja, pemeriksaan kesehatan sebelum dan selama bekerja secara berkala.

Metode kontrol secara teknis untuk menghindarkan tenaga kerja dengan bahan berbahaya. System ventilasi (exhaust fan) local/setempat harus dllakukan bila menggunakan bahan kimia beracun yang dapat mengalir keruang kerja. Bahan berbahaya sedapat mungkin diganti dengan bahan yang kurang /tidak berbahaya. Diharuskan pemberian informasi kepada tenaga kerja mengenai sifat bahan kimia pemajan yang mereka hadapi sehari-hari dan bagaimana bekerja dengan bahan tersebut secara aman.

Penyediaan kamar bilas, toilet dan pancuran air ditempatkan di lokasi yang mudah dicapai, dengan air hangat, handuk sekali pakai, dan sabun yang cukup.

Mensosialisasikan program menghindari pajanan bahan kimia terhadap kulit adalah hal yang sangat penting untuk mengeliminisasi dermatitis kontak alergika.

Pengobatan dengan kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka waktu pendek untuk mengatasi peradangan, sedangkan pada DKA ringan cukup dengan pemberian obat topical. Pada yang DKA subakut dan kronik diberikan kortikosteroid topical, antihistamin, dan antibiotika bila ada infeksi sekunder.

Prognosis pada umumnya baik tidak fatal dan tidak perlu hospitalisasi, bila bahan kontak dapat dihindarkan 25 % sembuh, 50 % membaik dan kambuh secara periodic, 25 5 menetap.

Tindakan rehabilitasi diberikan agar pasien dapat kembali lagi bekerja di tempat semula, bila terjadi kecacatan kulit permanen pertimbangkan untuk pindah kerja di unit lain yang tidak berhubungan dengan bahan kimia.

Kecacatan kulit permanent ditetapkan berdasarkan kelainan kulit, kebutuhan terapi dan keterbatasan dalam melakukan aktifitas.


BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dermatitis kontak alergika akibat kerja merupakan kelainan yang dapat menyebabkan keterbataan aktivitas, kerugian materi, kehilangan waktu bekerja sampai dengan cacat serius pada tenaga kerja yang mengalaminya.

Pada penyakit ini diagnosis ditegakkan terutama dengan wawancara yang cermat dan teliti di bantu dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Pencegahan secara menyeluruh dan terkoordinasi di antara pekerja dan perusahaan serta peraturan yang mendukung, merupakan kunci keberhasilan untuk menekan terjadinya dermatitis kontak alergika akibat kerja. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi inflamasi, nyeri, dan gatal dapat dipilih kortikosteroid topical yang aman dan juga antihistamin oral yang tidak menyebabkan rasa mengantuk.

DAFTAR PUSTAKA

  • Adam RM. Occupational Skin Diseases. W.B. Saunders Company. Philadelphia , 1990.
  • Levy BS and Wegman DH. Ocupational Health : Recognizing and preventing work-related disease and injury. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia , 2000.
  • Zenc C, Dickerson OB, Horvath EP, editor. Occupational Medicine. Missouri : Mosby-Year Book Inc, 1994.
  • Hudyono J. Dermatosis akibat kerja. Majalah Kedokteran Indonesia . November 2002.
  • Tedjoseputro D dan Soebaryo RW. Imunopatogenesis Dermatitis Kontak Alergik. MDVI 1984.

ENZIM AKTIF MULTIGUNA EXOLITE BAHAN PENYAMAK KULIT RAMAH LINGKUNGAN

Exolite merupakan cairan enzim aktif hasil riset bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Exolite diproduksi berdasarkan kerjasama BPPT, Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta dan PT Essindo. Exolite merupakan bahan pengganti penyamakan kulit yang ramah lingkungan produk dalam negeri dengan harga kompetitif. Penggunaan Exolite akan menyederhanakan proses penyamakan (tanpa proses bating). Exolite mudah didapat karena merupakan produk dalam negeri dan didapat berupa kemasan 2 liter, 20 liter dan 30 liter. Keunggulan Exolite dibandingkan dengan produk impor:

Exolite

  • Lebih mudah diperoleh karena produk dalam negeri.
  • Harga kompetitif dan tidak tergantung nilai tukar rupiah.
  • Produk ramah lingkungan.
  • Didukung oleh teknisi yang siap memberikan pelayanan purna jual dan pelatihan.
  • Langsung dapat digunakan pada proses soaking atau unhairing tanpa melalui proses bating sehingga mengurangi penggunaan bahan kimia lain serta bisa digunakan sebagai bating agent.
  • Bulu yang lepas dalam keadaan utuh sehingga ada peluang untuk dimanfaatkan menjadi produk samping yang dapat meningkatkan nilai tambah.

Produk impor
  • Pengadaan produk memerlukan waktu yang cukup lama.
  • Harga sangat tergantung dengan nilai tukar rupiah.
  • Menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan kenaikan tingkat pencemaran.
  • Tidak selalu dan bahkan tidak pernah ada pelayanan purna jual.
  • Harus melalui proses bating sehingga masih banyak diperlukan bahan kimia lain, limbahnya dapat meningkatkan pencemaran.
  • Bulu yang lepas dari kulit pada umumnya menjadi bubur bersama sebagian lapisan kulit bagian luar sehingga tidak dapat dimanfaatkan.

Industri Penyamakan Kulit dan UKM Penyamakan Kulit yang berminat menggunakan Exolite silakan menghubungi:

Tim Riset Bioindustri BPPT/Tim Enzim
DR. Siswa Setyahadi / Joni Prasetyo, ST
Gedung BPPT Lantai 15
Jl. MH Thamrin 8 Jakarta Pusat
Tel: (021) 3169520 / 3169528
Fax: (021) 31669510
e-mail : PRASETYO j2001@Yahoo.com

Mengeruk UNTUNG dari Asap Cair pada Bisnis Penyamakan Kulit

Industri penyemakan kulit merupakan industri yang cukup potensial sebagai penyumbang devisa Negara di Indonesia. Keberhasilan industri penyamakan kulit salah satunya sangat tergantung dari bahan baku kulit, baik kwalitas mapun kuantitas yang dihasilkan oleh ternak sapi, kerbau, domba, kambing dan ternak / hewan non konvensional lainnya seperti reptile, ikan, unggas, dll.

Kualitas kulit mentah sangat depengaruhi oleh beberapa factor antara lain yaitu cacat yang terdapat pada kulit, baik cacat biologis maupun mekanis. Cacat biologis disebabkan karena adanya cacat oleh bakteri, jamu, luka karena goresan sewaktu hewan digembala maupun diangkut. Sedang cacat meknis disebabkan adanya perlakuan terhadap kulit setelahhewan tersebut disembelih, yaitu terjadi goresan – goresan pisau dan lubang – lubang pada saat pengulitan hewan.

Tidak semuanya kulit mentah segar langsung dapat diproses oleh industri penyamakan kulit. Kulit tersebut biasanya dikumpulkan terlebih dahulu oleh para pengumpul kulit dengan perlakuan pengawetan agar kulit tersebut tidak busuk sebelum dibawa keindustri penyamakan kulit. Factor pengawetan kulit mentah pun menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kualitas kulit mentah. Kulit mentah yang diawetkan dengan cara yang benar dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami perubahan yang berarti.

Tujuan pengawetan kulit mentah adalah untuk menghindari / mencegah agar kulit mentah tersebut tidak busuk karena terserang bakteri, tidak dimakan serangga serta tahan terhadap keadaan sekitarnya. Dasar dari pengawetan kulit adalah untuk mengurangi kadar air dalam kulit mentah sehingga mencapai batas minimum yang diperlukan oleh bakteri pembusuk untuk dapat hidup dan berkembang biak. Biasanya pengawetan kulit mentah dikerjakan dengan cara diracun kemudian dikeringkan, direndam dalam garam jenuh ( 20° – 24° Be ) selama kurang lebih 24 jam, dan ada pula dilakukan dengan ditaburi garam direndam dalam garam jenuh, dan dapat diawet degan cara diasamkan (pikel).

Perlakuan pengawetan kulit yang menggunakan asap cair sebagai pengganti racun berfungsi untuk mencegah adanya bakteri pembusuk, serangga dan jamur sehingga kulit tidak busuk dalam waktu yang lama. Dengan menggunakan asap cair diharapkan pengawetan ini tidak membahayakan bagi manusia dan lingkungan Karen tidak perlu menggunakann bahan kimia yang tidak ramah lingkungan.

Asap cair ynag digunakan sebagai bahan pengawt kulit diperoleh dari bahan kayu (tempurung kelapa) yang diproduksi dengan proses pirolisis pada suhu 400° C dan disertai kondensasi menggunakan air sebagai media pendingin. Proses ini akan menghasilkan asap cair yang mengandung senyawa asam, fenol dan karbonil yang merupakan senyawa fungsional dalam pengawetan bahan untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Aktivitas anti mikrobia asap cair dari berbagai macam kayu sangat tinggi. Pengenceran asp cair sampai dengan 100 kali masih menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap semua bakteri kecuali teradap pertumbuhan Salmonella Typhimoriu. Pada pH netral pengenceran asap cair sampai dengan 10 kali masih memperlihatkan penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri.

Dari data yang ada menunjukkan bahwa asap cair dari tempurung kelapa mempunyai aktivitas anti mikrobia paling tinggai dibanding dengan kayu – kayu lainnya (Purnomo Darmaji, dkk,1997). Fenol dan asam asetat merupakan senyawa anti mikrobia dalam asap cair tempurung kelapa yang masing – masing mempunyai konsentrasi 1,28 % dan 9,60 % (tranggono, dkk, 1997). Aktivitas anti bakteri dari asap cair terutama disebabkan adanya kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam organik yang bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikroba ( paszczola dan Astuti 2000). Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam asap cair juga merupakan zat anti bakteri yang tinggi ( Astuti, 2000 ). Asap cair merupakan hasil limbah dari tempurung kelapa yang mempunyai sifat – sifat antara lain sebagai bahan pengawet anti jamur, dan lain – lain merupakan bahan yang ramah lingkungan.

Beberapa Negara yang merupakan konsumen kulit dari Indonesia telah mulai mensyaratkan adanya perhatian terhadap lingkungan ( penerapan ISO 14001 ) pada industri penyamakan kulit. Guna mengatasi masalah tersebut salah satunya adalah dengan cara mencari pengganti bahan – bahan kimia yang ramah ligkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungannya, yaitu antara dengan menggunakan asap cair. Karena penggunaan asap cair belum banyak diterapkan bahkan belum ada sama sekali, oleh para pengumpul kulit maupun industri penyamakan kulit untuk pengawetan kulit, maka penelitian terhadap asap cair perlu dilaksanakan sebagai pengganti bahan pengawet kimia. Keberhasilan penelitian ini diharapkan dapat membantu meringankan permasalahan yang dihadapi oleh para pengumpul kulit dan industri penyamakan kulit terutama dalam efisiensi produksi pengolahan lingkungan.

Dari percobaan yang telah dilakukan pada penyamakan kulit menggunakan asap cair dapat dilihat dari daftar berikut ini :

hasil pengamatan kurang dari 1 minggudengan menggunakan konsntrasi asap cari 5 %, 10% dan 15%

A. Konsentrasi 5%

1. Bulu sedikit rontok pada bagian pinggir perut
2. Bulu mudah dicabut pada pinggir bagian perut dan bagian kulit yang tipis
3. Sedikit ada jamur pada bagian kulit yang belum kering

B. Konsentrasi 10%

1. Bulu tidak ada yang rontok
2. Bulu sulit dicabut
3. Tidak ada kutu / ulat dibagian daging dan bulu pada kulit

C. Konsentrasi 15%

1. Bulu tidak ada yang rontok
2. Bulu sulut dicabut
3. Tidak ada kutu / ulat dibagian daging dan bulu pada kulit

bahkan sampai usia 3 bulan, hasil yang diperoleh seperti di bawah ini :

A. Konsentrasi 5%

1.

Bulu hampir disemua bagian mudah dicabut dan rontok
2.

Beberapa kutu yang sudah mulai ada diseluruh bagian kulit baik dibagian daging maupun bulu
3.

Bulu tidak ada yang rontok

B. Konsentrasi 10%

1.

Bulu sulit dicabut
2.

Tidak ada kutu dibagian daging dan bulu pada kulit
3.

Bulu tidak ada yang rontok

C. Konsentrasi 15%

1.

Bulu sulit dicabut
2.

Tidak ada kutu dibagian daging dan bulu pada kulit

Melihat hasil yang ada, penggunaan asap cair pada penyamakan kulit bisa disimpulkan sebagai berikut. Dan tentunya banyak keuntungan yang akan diperoleh antara lain:

1.

Asap cair dari bahan limbah tempurung kelapa dapat digunakan proses pengawetan kulit mentah.
2.

Asap cair dapat menggantikan obat – obatan kimia sebagai sebagai anti bakteri / jamur.
3.

Pemberian obat anti bakteri / jamur dapat digantikan dengan pemberian asap cair.
4.

Dengan menggunakan asap cair sebagai pengganti bahan kimia anti bakteri / jamur, maka akan dapat mengurangi sebagian pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan kimia yang tidak ramah lingkungan dalam proses pengawetan kulit.

Ok siapa yang mau coba…?

untuk pemesanan produk bisa menghubungi saya di

Untuk yang berminat, silahkan bisa memesan secara On line
Aplikasi pembayaran :
Kirim ke No Rek : 445-0961-391 an: Mansur Mashuri
BCA KCP Katamso Yogyakarta
Konfirmasi pembayaran :
email : mansur_mash@yahoo.com
blig : http://produkkelapa.wordpress.com
kantor : Jl. Nitikan Baru no 9 Yogyakarta
Contact Person : Mansur Mashuri (081328042283)

Berbahaya, Penyamakan Kulit dengan Menggunakan Bahan Kimia

YOGYAKARTA - Di hampir setiap tahapan penyamakan kulit, proses tersebut selalu menggunakan bahan kimia berbahaya dan beracun, terlebih pada tahap pre-tanning dan tanning.

Bahan-bahan kimia yang digunakan disinyalir hanya 70% saja yang terikat pada kulit dan sisanya menjadi limbah, baik cair maupun padat. Bahan-bahan kimia tersebut menjadi buangan yang sangat potensial mencemari lingkungan karena sifatnya yang sangat kompleks dan sulit untuk penanganannya.

Di samping itu komponen kulit yang berupa limbah fleshing, trimming, spliting, shaving, dan buffing ataupun hasil hidrolisis selama proses pre-tanning akan segera membusuk dan menimbulkan gas dan bau yang menyengat bila tidak segera ditangani dengan baik.

Menurut Prof Dr Ir Suharjono Triatmojo MS, penanganan limbah itu memerlukan teknologi yang maju, peralatan yang mahal, dan sumber daya manusia berkualitas dengan biaya tinggi.

Penanganan limbah selama ini dinilainya tidak menyelesaikan masalah, hanya mengubah dari fase satu ke fase lainnya dan memindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya.
Perubahan Sikap ”Karena itu, para ahli kimia dan penyamakan kulit selalu berusaha untuk mencarikan pengganti bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun ini dengan bahan yang lebih ramah lingkungan. Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada proses produktif dan daur hidup produk dengan tujuan untuk mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan. Hal itu dikenal sebagai produk bersih (cleaner production),” ungkapnya saat dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Peternakan UGM, baru-baru ini.

Penerapan produk bersih ini, lanjut dia, memerlukan perubahan sikap dan manajemen yang bertanggung jawab pada lingkungan serta evaluasi teknologi yang dipilih dan digunakan oleh suatu organisasi.

Pada proses industri, produksi bersih berarti meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku, energi, mencegah atau mengganti penggunaan bahan-bahan berbahaya dan beracun, mengurangi jumlah dan tingkat racun semua emisi dan limbah sebelum meninggalkan proses.

”Produk produksi bersih ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan selama daur hidup produk, mulai dari pengambilan bahan baku sampai ke pembuangan akhir produk tersebut,” tandasnya di ruang Balai Senat UGM. (P12-70)

suaramerdeka.com

Penyamakan Kulit

Berkurangnya jumlah ternak (ruminansia) yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) karena imbas krisis ekonomi yang berkepanjangan ikut menyulitkan industri penyamakan kulit dalam negeri. Beberapa perusahaan yang bergerak di industri ini sudah kesulitan untuk memperoleh pasokan bahan baku kulit. Sebuah perusahaan sejenis di daerah Malang, setiap harinya mampu menghasilkan produk kulit sebanyak 300 - 500 lembar terdiri dari kulit kambing, domba dan sapi. Pada saat nilai Dollar menguat akibat terpuruknya nilai Rupiah, kebanyakan hasil produksi tersebut diekspor ke beberapa negara Eropa dan Asia. Harga rata-rata kulit sapi setengah jadi dihitung berdasarkan satuan per square feet yaitu berkisar US$ 1,7 sedangkan harga kulit jadi (kulit sapi) dihargai US$ 2,4 - 2,6.

Terdapat 2 jenis kulit yaitu kulit berkelas yang bebas dari pewarna dan tidak mengandung metal lebih besar dari 62,5 ppm, sedangkan kulit samak adalah kulit setengah jadi sebagai bahan baku untuk industri sepatu atau garmen. Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses yang saling berurutan. Pada saat kulit mentah (rohet) memasuki proses awal, akan diseleksi untuk menghasilkan (menyisihkan) kulit berkelas. Tahapan proses dilakukan dalam drum yang berkapasitas memproses 400 - 600 lembar kulit sekaligus. Penyamakan dilakukan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisma, proses kimia maupun fisik menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap faktor-faktor perusak tersebut. Yaitu dengan memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan kulit yang berupa jaringan kolagen sehingga terbentuk ikatan kimia antara keduanya menjadikan lebih tahan terhadap faktor perusak. Zat penyamak bisa berupa penyamak nabati, sintetis, mineral, dan penyamak minyak.

Penyamakan kulit terdiri atas banyak proses panjang, dan garis besarnya dibagi 3 proses utama yaitu proses awal (beam house atau proses rumah basah), proses penyamakan, dan finishing. Proses awal terdiri atas perendaman (untuk mengembalikan kadar air yang hilang selama proses pengeringan sebelumnya, kulit basah lebih mudah bereaksi dengan bahan kimia penyamak, membersihkan dari sisa kotoran, darah, garam yang masih melekat pada kulit), pengapuran (membengkakan kulit untuk melepas sisa daging, menyabunkan lemak pada kulit, pembuangan sisik, pembuangan daging, pembuangan kapur (deliming) (untuk menghilangkan kapur dan menetralkan kulit dari suasana basa, menghindari pengerutan kulit, menghindari timbulnya endapan kapur), pengikisan protein, pengasaman (pickle) (untuk memberikan suasana asam pada kulit sehingga lebih sesuai dengan senyawa penyamak dan kulit lebih tahan terhadap seranga bakteri pembusuk). Pada kulit sapi, dilakukan proses pembuangan bulu menggunakan senyawa Na2S.

Sesuai dengan jenis kulit, tahapan proses penyamakan bisa berbeda. Kulit dibagi atas 2 golongan yaitu hide (untuk kulit berasal dari binatang besar seperti kulit sapi, kerbau, kuda dll), dan skin (untuk kulit domba, kambing, reptil dll). Jenis zat penyamak yang digunakan mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh. Penyamak nabati (tannin) memberikan warna coklat muda atau kemerahan, bersifat agak kaku tetapi empuk, kurang tahan terhadap panas. Penyamak mineral paling umum menggunakan krom. Penyamak krom menghasilkan kulit yang lebih lemas, lebih tahan terhadap panas. Lewat proses penyamakan, dilakukan proses pemeraman yaitu menumpuk atau menggantung kulit selama 1 malam dengan tujuan untuk menyempurnakan reaksi antara molekul bahan penyamak dengan kulit.

Proses penyelesaian (finishing) menentukan kualitas hasil akhir (leather). Terdiri atas beberapa tahapan proses yang bervariasi sesuai dengan jenis kulit, bahan penyamak yang digunakan, dan kualitas akhir yang diinginkan. Proses finishing akan membentuk sifat-sifat khas pada kulit seperti kelenturan, kepadatan, dan warna kulit. Proses perataan (setting out) bertujuan untuk menghilangkan lipatan-lipatan yang terbentuk selama proses sebelumnya dan mengusahakan terciptanya luasan kulit yang maksimal. proses perataan sekaligus juga akan mengurangi kadar air karena kandungan air dfalam kulit akan terdorong keluar (striking out). Beberapa proses lanjutan lainnya adalah pengeringan (mengurangi kadar air kulit sampai batas standar biasanya 18 - 20 %), pelembaban (menaikkan kandungan air bebas dalam kulit untuk persiapan perlakuan fisik di proses selanjutnya), pelemasan (melemaskan kulit dan mengembalikan kerutan-kerutan sehingga luasan kulit menjadi normal kembali), pementangan (untuk menambah luasn kulit), pengampelasan (untuk menghalukan permukaan kulit). Kulit samakan bisa dicat untuk memperindah tampilan kulit.


Bisnis Indonesia

KINERJA SEQUENCING BATCH REACTOR (SBR) UNTUK PENYISIHAN COD DALAM AIR LIMBAH PENYAMAKAN KULIT

KINERJA SEQUENCING BATCH REACTOR (SBR) UNTUK PENYISIHAN COD DALAM AIR LIMBAH PENYAMAKAN KULIT DENGAN PARAMETER RASIO WAKTU PENGISIAN TERHADAP WAKTU REAKSI

Sudaryati Cahyaningsih*, Widyarani*
* Pusat Penelitian Kimia - LIPI
Kampus LIPI Cisitu - Sangkuriang Bandung 40135
telf. 62 22 2503051/ fax. 62 22 2503240
email:widyarani@gmail.com

Abstrak

Industri penyamakan kulit menghasilkan air limbah yang memiliki kandungan organik tinggi, di mana konsentrasi COD berkisar antara 125—25.520 mg/l. Percobaan untuk menguji kinerja Sequencing Batch Reactor (SBR) untuk penyisihan COD dilakukan dengan variasi perbandingan waktu pengisian dan waktu reaksi (p/r) 2:4, 2:6, dan 2:8 jam dan variasi beban organik 1.500 mg/l COD, 2.500 mg/l COD, dan 3.500 mg/l COD. Laju penyisihan substrat pada beban rendah terutama didominasi selama fase pengisian, sedangkan untuk beban tinggi laju penyisihan organik dominan terjadi pada fase reaksi.Untuk beban organik 2.500 mg/l COD dan 3.500 mg/l COD, kinerja optimal dicapai pada rasio p/r 2:6 dengan efisiensi penyisihan COD rata-rata 74,61% dan 85,47%. Untuk beban organik 1.500 mg/l COD, kinerja optimal dicapai pada rasio p/r 2:8 dengan efisiensi penyisihan COD rata-rata 69,63%.

Kata Kunci:air limbah penyamakan kulit; SBR; COD; p/r


SEQUENCING BATCH REACTOR PERFORMANCE ON COD REMOVAL FROM TANNERY WASTEWATER WITH FILL-REACTION TIME RATIO VARIATION

Abstract

Tannery industry generates wastewater with high organic content, that COD concentration ranges from 125 to 25,520 mg/l. Experiment to measure Sequencing Batch Reactor (SBR) performance for COD removal was performed with fill time/reaction time (f/r) ratio variation of 2:4, 2:6 and 2:8 hours and organic load variation of 1,500 mg/l COD; 2,500 mg/l COD and 3,500 mg/l COD. Substrate removal rate on low organic load was dominant during fill phase, while on high organic load was dominant during react phase. For 2,500 mg/l COD and 3,500 mg/l COD load, optimum performance were achieved on f/r ratio 2:6 with average COD removal efficiency of 74,61% and 85.47% respectively. For 1,500 mg/l COD, optimum performance was achieved on f/r ratio 2:8 with average COD removal efficiency of 69.63%.

Keywords:tannery wastewater; SBR; COD; f/r



1. Pendahuluan
Meningkatnya kebutuhan akan barang-barang kulit memicu peningkatan aktivitas industri kulit, termasuk industri penyamakan mengolah kulit mentah menjadi kulit samak. Pada proses penyamakan, semua bagian nonkolagen dari kulit dihilangkan karena hanya kolagen yang bereaksi dengan bahan penyamak. Terdapat tiga tahapan pokok dalam industri penyamakan kulit yaitu pengerjaan basah (beamhouse), penyamakan (tanning), dan penyelesaian akhir (finishing). Masing-masing tahapan ini terdiri atas beberapa macam proses yang membutuhkan tambahan bahan kimia dan umumnya menggunakan air dalam volume besar. Teknologi konvensional menggunakan + 34-56 m3 air/ton bahan mentah dan + 300 kg bahan kimia/ton bahan mentah, antara lain berupa sodium sulfida, kapur, garam amonium, enzim, asam sulfat, NaCl, krom, dan Na2CO3.
Karakteristik air limbah penyamakan kulit sangat dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik kulit serta teknologi yang digunakan. Tiap tahapan proses menghasilkan air limbah dengan karakteristik yang berbeda. Komposisi air limbah umumnya terdiri atas 40% air dan 60% padatan termasuk kolagen, lemak, protein, dll. Karakteristik air limbah penyamakan kulit keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Penyamakan Kulit
Parameter Satuan Kualitas Air Limbah
pH
TSS
COD
BOD
Grease
NH3
Khromium
Sulfida
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l 6 – 10
295 – 3.320
125 – 25.520
100 – 10.500
7 – 185
0 06 – 45
0 – 1.621
0 – 103
• Sumber: BBKKP (1995) dalam Cahyaningsih (2001)

Sistem pengolahan limbah industri penyamakan kulit saat ini lebih banyak dilakukan secara fisik-kimia yang dapat mereduksi khromium hingga 95%, sulfida hingga 100%, dan BOD hingga 80%, namun umumnya tinggi dalam biaya operasional dan menghasilkan lumpur hasil olahan yang mengandung khromium. Pengolahan air limbah secara biologis merupakan alternatif terhadap pengolahan fsik-kimia, terutama untuk menyisihkan bahan organik terlarut dan koloid. Kelebihan pengolahan biologi adalah efektif, mudah dioperasikan, dan ekonomis. Meskipun demikian, kinerja proses biologi sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme.
Sistem Sequencing Batch Reactor (SBR) adalah modifikasi activated sludge dari sistem kontinu menjadi diskontinu (batch). Pada SBR proses aerasi dan sedimentasi berlangsung dalam satu tangki. Pengoperasian SBR terdiri atas lima siklus yaitu fill (pengisian), react (reaksi), settle (pengendapan), decant/draw (pembuangan), dan idle (stabilisasi/pelaparan).
Pada penelitian ini akan dilihat kemampuan SBR untuk mengolah COD dalam air limbah industri penyamakan kulit dengan variasi waktu pengisian dan waktu reaksi, agar didapatkan kinerja reaktor yang optimal.

2. Metodologi
Pada penelitian ini digunakan reaktor dari bahan gelas dengan volume operasi 20 liter. Reaktor dilengkapi dengan aerator yang dipasang pada dasar reaktor. Gelembung udara yang terbentuk selain berfungsi untuk memberikan suplai oksigen juga berfungsi untuk mengaduk mixed liquor yang ada di dalam reaktor. Rangkaian model instalasi pengolahan air limbah ditunjukkan pada Gambar 1.


Gambar 1. Model Instalasi Pengolahan Air Limbah

Lamanya waktu pengisian dijaga konstan selama 2 jam sedangkan waktu reaksi divariasikan selama 4, 6, dan 8 jam. Beban organik yang digunakan adalah 3.500 mg/l COD yang juga dibandingkan dengan 2.500 mg/l COD dan 1.500 mg/l COD. Pengoperasian reaktor dilakukan dalam kondisi aerob di mana konsentrasi DO dijaga agar > 2 mg/l O2.
Seeding dan aklimatisasi dilakukan secara batch. Benih ditumbuhkan secara aerob dalam media amilum dengan pengayaan nutrisi NH4Cl, MgSO4.7H2O, K2HPO4, CaCl2, dan FeCl3.
Pengumpulan data diambil secara berturut-turut untuk 3 siklus. Sampel diambil pada titik umpan, kondisi awal reaktor, 1 jam pengisian, 2 jam pengisian yang merupakan awal reaksi, setengah reaksi, akhir reaksi, dan akhir sedimentasi (keluaran). Parameter yang diukur adalah COD (Standard Methods 5220.C), VSS (Standard Methods 2540.E), pH dengan pHmeter glass electrode, konsentrasi DO dengan DO-meter, dan temperatur.

3. Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran konsentrasi COD dengan rasio pengisian:reaksi (p/r) 2:4 jam ditunjukkan pada Gambar 2.


Gambar 2. Kurva Pengaruh Rasio p/r 2:4 jam Terhadap Perubahan COD Pada Beban + 3.500 mg/l COD

Fenomena perubahan konsentrasi COD dari jam ke jam pada setiap siklusnya relatif sama. Pada saat pengisian 1 jam terjadi penurunan materi organik, karena adanya pengenceran dan adanya aktivitas mikroorganisme dalam mendegradasi substrat. Kemudian pada akhir pengisian terlihat adanya sedikit kenaikan konsentrasi organik. Hal ini disebabkan bioreaktor tidak lagi melakukan pengenceran sedangkan laju aktivitas mikroorganisme mendegradasi substrat tampaknya tidak mampu mengimbangi laju penambahan substrat. Selama reaksi, konsentrasi organik terus menurun seiring dengan adanya aktivitas biomassa dalam penguraian substrat.
Efisiensi penyisihan organik COD rasio p/r 2:4 jam dari ketiga siklus yang diamati relatif cukup konstan, berkisar antara 80,35% sampai 82,18%. Dengan beban yang tinggi, waktu reaksi 4 jam tidak cukup bagi biomassa untuk menguraikan materi organik sampai tingkat yang memuaskan. Kestabilan tingkat penyisihan substrat pada variasi ini, antara lain disebabkan oleh konsentrasi COD awal bioreaktor untuk setiap siklus relatif sama.
Untuk beban yang lebih rendah, rasio p/r 2:4 juga memberikan hasil yang kurang memuaskan yaitu rata-rata 62,49% dan 42,28% untuk beban 1.500 mg/l COD dan 2.500 mg/l COD.
Hasil pengukuran konsentrasi COD dengan rasio p/r 2:6 jam ditunjukkan pada Gambar 3.


Gambar 3. Kurva Pengaruh Rasio p/r 2:6 jam Terhadap Perubahan COD Pada Beban + 3.500 mg/l COD

Sebagaimana terlihat pada Gambar 3, pada rasio p/r 2:6 jam ini fenomena perubahan konsentrasi COD dari jam ke jam pada setiap siklusnya relatif tidak stabil dibandingkan rasio p/r 2:4. Pada siklus ke-2 di awal pengisian tampaknya biomassa relatif lamban beradaptasi dengan substrat daripada siklus lainnya. Akibatnya di akhir masa pengisian tingkat penyisihan hanya mencapai 20,83%, sedangkan tingkat penyisihan pada siklus ke-1 dapat mencapai 52,00% dan siklus ke-3 47,50%. Adanya penumpukan materi organik di akhir pengisian menyebabkan pembebanan yang relatif besar pada bioreaktor selama fase reaksi. Dari Gambar 3 terlihat bahwa fase sedimentasi selama 4 jam cukup berperan dalam menyisihkan materi organik. Efisiensi penyisihan pada akhir reaksi berkisar antara 59,17% sampai 84,00%, sedangkan efisiensi penyisihan keseluruhan berkisar antara 78,61% sampai 89,09%.
Hasil pengukuran konsentrasi COD dan efisiensi penyisihan COD dengan rasio p/r 2:8 jam ditunjukkan pada Gambar 4.
Pada rasio p/r 2:8 jam, perubahan konsentrasi COD dari jam ke jam dan efisiensi penyisihan substrat dari setiap siklus relatif konstan. Pada waktu reaksi 6 jam, penumpukan materi yang terjadi di akhir fase pengisian mempengaruhi penyisihan pada akhir reaksi namun terkompensasi oleh pengendapan. Pada rasio p/r 2:8 jam, panjangnya waktu reaksi sehingga dapat mengatasi penumpukan materi di akhir periode reaksi, dalam hal ini materi organik yang tidak tersisihkan selama fase pengisian akan dioksidasi lebih lanjut oleh biomassa pada fase reaksi. Meskipun demikian pada akhir fase sedimentasi tampaknya terjadi penumpukan kembali materi organik yang menurunkan efisiensi penyisihan.


Gambar 4. Kurva Pengaruh Rasio p/r 2:8 jam Terhadap Perubahan COD Pada Beban + 3.500 mg/l COD

Untuk beban 1.500 mg/l COD didapatkan efisiensi penyisihan rata-rata 69,63% yang hanya sedikit lebih tinggi dari hasil yang didapatkan untuk rasio p/r 2:6. Untuk beban 2.500 mg/l COD didapatkan efisiensi penyisihan rata-rata 72,91% yang lebih rendah dari hasil yang didapatkan untuk rasio p/r 2:6.
Efisiensi penyisihan COD yang didapatkan pada percobaan ini untuk rasio p/r 2:6 dan beban 3.500 mg/l COD (85,5%) mendekati hasil percobaan Goltara dkk (2003) yang mengolah air limbah penyamakan kulit dari proses pengerjaan basah (beamhouse) menggunakan Membrane SBR, di mana setelah tahap aklimatisasi penyisihan COD berkisar antara 85% - 95%. Air limbah pada proses beamhouse memiliki beban organik relatif rendah, berkisar antara 732-1.576 mg/l COD.
Untuk semua variasi beban dan waktu, penyisihan organik cukup besar terjadi pada fase pengisian. Untuk beban rendah (1.500 mg/l COD), hasil ini bersesuaian dengan hasil yang didapatkan pada percobaan Handayani (2003) yang menggunakan SBR untuk mengolah air limbah rumah pemotongan hewan. Untuk beban sedang dan tinggi, fase reaksi dan sedimentasi berperan dalam penyisihan organik karena adanya penumpukan materi organik pada akhir fase pengisian.
Pada SBR sebagai proses cyclic, terdapat keterkaitan antara suatu siklus dengan siklus berikutnya, dalam hal ini kinerja siklus pertama akan mempengaruhi siklus kedua, dan seterusnya. Pada percobaan ini siklus tidak memberikan perbedaan efisiensi. Hal ini dapat disebabkan masukan substrat yang seragam pada tiap siklus.
Dari percobaan ini, terlihat bahwa untuk tahap operasional, rasio p/r 2:6 lebih tepat digunakan untuk beban organik sedang dan tinggi (2.500 dan 3.500 mg/l COD). Untuk beban 1.500 mg/l COD, efisiensi tertinggi yang didapatkan dari rasio p/r 2:8 hanya mencapai rata-rata 69,63%. Waktu operasi yang lama menjadi tidak ekonomis untuk penyisihan beban organik yang rendah sehingga diperlukan modifikasi siklus operasi dengan pendekatan yang berbeda. Alternatif lainnya adalah dengan menstabilkan masukan air limbah dan mempertahankan nilai yield biomassa (Y) rendah agar kinerja tiap siklus seragam dan optimal.

4. Kesimpulan
Secara keseluruhan kinerja SBR cukup optimum untuk mengolah air limbah industri penyamakan kulit dengan beban organik sedang dan tinggi (2.500 mg/l COD dan 3.500 mg/l COD). Rasio p/r berpengaruh terhadap penyisihan COD, di mana efisiensi penyisihan optimum sebesar 74,61% (beban sedang) dan 85,47% (beban tinggi) tercapai pada rasio p/r 2:6. Laju penyisihan substrat pada beban rendah terutama didominasi selama fase pengisian, sedangkan untuk beban tinggi laju penyisihan organik dominan terjadi pada fase reaksi.

Daftar Pustaka
[1] ---, (2002), “Treatment of Tannery Wastewater”, Infogate, Naturgerechte Technologien, Bau- und Wirtschaftsberatung (TBW) GmbH, Frankfurt, Germany.
[2] Cahyaningsih, S., (2001), “Kinerja Bioreaktor Anaerob Media Tetap Aliran ke Atas Bermedia Bambu untuk Mengolah Air Limbah Industri Penyamakan Kulit”, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
[3] Goltara, A., J. Martinez, dan R. Mendez., (2003), “Carbon and Nitrogen Removal from Tannery Wastewater with a Membrane Bioreactor”, Water Sci. Tech., Vol. 48 No. 1, halaman 207-214.
[4] Handayani, D.A., (2003), “Kinetika Sequencing Batch Reactor Aerob Setelah Flotasi Udara Terlarut Pada Pengolahan Air Buangan Rumah Potong Hewan”, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
[5] Metcalf & Eddy, (1991), “Wastewater Engineering: Treatment Disposal Reuse”, edisi 3, McGraw Hill International Edition, Singapore.

3 Pabrik Penyamakan Kulit Berhenti Produksi

Jakarta - Sebanyak tiga pabrik penyamakan kulit menghentikan produksinya semenjak akhir tahun 2008 lalu. Hingga kini tiga pabrik yang berlokasi di Tangerang dan Jakarta itu belum beroperasi karena seretnya permintaan ekspor yang berdampak pada cashflow perusahaan.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) Senjaya A. saat dihubungi detikFinance, Kamis (16/4/2009).

Senjaya mengatakan dari 3 pabrik yang menghentikan produksinya, satu lokasi berada di Tangerang dengan kapasitas 80.000 square feet per bulan dengan tenaga kerja 150 orang. Selain itu ada 2 lokasi di Jakarta dengan masing-masing kapasitas produksi 25.000 square feet per bulan dengan tenaga kerja total 50 orang.

Selama ini kapasitas produksi industri penyamakan Indonesia untuk produk kulit sapi, kambing dan domba totalnya mencapai 150 juta square feet per tahun. Rata-rata dari produksi sebanyak 25% diekspor ke luar negeri.

"Penjualan dari tahun kemarin mulai turun, di kuartal satu 2009 saja permintaan turun 40%, akhirnya berpengaruh sama produksi," jelasnya.

Selain 3 perusahaan penyamakan skala besar dan menengah yang mulai menghentikan produksinya, sebanyak 400 industri penyamakan skala rumah tangga mulai terancam stop produksi karena menghadapi kondisi yang sama. Sedangkan 70 perusahaan skala besar masih kembang kempis karena cashflow yang seret.

Restrukturisasi Mesin

Senjaya mengatakan mengenai restrukturisasi (peremajaan) mesin yang digelontorkan oleh Departemen Perindustrian (Depperin) sebesar Rp 20 miliar bagi sektor penyamakan akan sangat tergantung konsistensi anggotanya untuk berinvestasi membeli mesin.

"Kondsi krisis saat ini, anggota kita berpikir ulang lagi apakah perlu investasi lagi. Masalahnya kita nggak punya modal, pemerintah bantu tetapi harus kita keluar dulu 100% modal," katanya.

Seperti diketahui Depperin akan memberikan potongan pembelian investasi mesin barus sebesar 10% dari jumlah pembelian bagi sektor penyamakan. Hingga kini setidaknya di anggota APKI sudah ada 5 perusahaan yang berminat mengikuti program restrukturisasi mesin termasuk di Sukabumi, Cisarua dan lain-lain.

www.detikfinance.com

TEKNOLOGI PENYAMAKAN KULIT BARU YANG INOVATIF JANJIKAN PENINGKATAN DAYA SAING BAGI INDUSTRI GARMEN, PERLENGKAPAN RUMAH DAN ALAS KAKI

Hingga saat ini, kegiatan penyamakan kulit menengah dan kecil di Indonesia hanya memiliki dua pilihan untuk mengeringkan kulit: pengeringan langsung dengan sinar matahari, atau menggunakan ruangan pengeringan bertenaga uap. Kedua metode ini memiliki kekurangan yang besar.

Sinar matahari yang sporadis dan tidak tentu dan tingkat kelembaban yang tinggi membuat proses pengeringan lambat dan tidak merata, menghasilkan masalah yang berkepanjangan. Di sisi lain, pengering berbahan bakar tradisional bersifat efektif namun mahal untuk dijalankan.

Peneliti dari Universitas Darma Persada (UNSADA) di Jakarta mendapatkan solusi nyata: menggabungkan sisi terbaik dari setiap metode – pengering matahari yang murah dan ramah lingkungan, dengan kecepatan dan kemampuan dari teknologi pengering – untuk menghasilkan produk yang akan membantu UKM penyamakan Indonesia dalam meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi produk mereka. Penyamakan kulit merupakan industri hulu pemasok bagi industri garmen, perlengkapan rumah dan alas kaki Indonesia. Lebih jauh lagi, dampak pemberdayaan perusahaan hilir sehingga mampu bekerja sama lebih banyak dengan pemasok lokal di hulunya memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing Indonesia melalui rantai nilai.

Gagasan UNSADA ini sangat sesuai dengan tujuan Dana Inovasi Bisnis (BIF) SENADA, hingga UNSADA mengajukan dan mendapatkan hibah yang bernama ”Pengering Tenaga Matahari GHE Hybrid untuk Penyamakan Kulit.” Dana hibah yang diberikan bagi UNSADA senilai Rp 225.000.000 untuk periode enam bulan dari Oktober 2008 hingga April 2009.

UNSADA menggunakan dana hibah untuk membangun sebuah prototipe pengering ”efek rumah kaca” (GHE) yang memanfaatkan sinar matahari, namun dalam musim hujan atau jadwal produksi yang tinggi, juga disediakan sebuah tungku pembakaran dan pemanasan uap yang menggunakan bahan bakar biomass. Sistem pemindahan panas yang dirancang oleh UNSADA memastikan bahwa hanya udara panas kering dan bersih yang memasuki ruang pengeringan kulit. Pengawasan temperatur dan kelembaban menghasilkan pengeringan yang sempurna. 

Untuk pengembangan prototipe menjadi produk komersil, UNSADA berkerja sama dengan PT Sumber Piranti, perusahaan mekanikal mesin yang berpengalaman dalam merancang mesin, pengembangan dan pembuatan, sehingga mesin pengering baru dapat dibuat efisien dan layak dijual.

UNSADA juga bekerja sama dengan Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) untuk memasarkan teknologi baru tersebut kepada perusahaan anggotanya. APKI cabang Garut memberikan bahan baku, perlengkapan dan konstruksi selama pengujian lapangan prototipe, sehingga diberikan hak pengelolaan komersil pengering tersebut untuk anggota UKM dengan sistim sewa. APKI Garut bersama UNSADA, juga berkewajiban memberikan informasi dan uji coba mesin bagi penyamakan dan cabang APKI lainnya yang berminat untuk membeli teknologi baru itu.

Universitas Darma Persada didirikan pada tahun 1986 dibawah naungan yayasan Melati Sakura. Badan penelitiannya berfokus pada penelitian teoritis dan terapan dalam energi baru dan terbarukan, dan telah mendisain dan mengembangkan pengering untuk produk-produk seperti biji kopi dan coklat, jagung, rumput laut, dan ikan, dengan menggunakan dana dari pemerintah dan program Corporate Social Responsibility dari perusahaan swasta.

www.senada.or.id

Pemerintah Segera Restrukturisasi Industri Penyamakan Kulit

Kapanlagi.com - Pemerintah mengalokasikan Rp55 miliar dari DIPA Departemen Perindustrian (Depperin), guna mendukung restrukturisasi permesinan industri alas kaki dan penyamakan kulit, yang ditargetkan mencapai Rp525 miliar.

"Jika dibanding dengan nilai ekspor kita ini (Rp55 mliar) kecil, tidak masuk hitungan WTO. Tapi saya harap ini bisa jadi semangat, bahwa pemerintah concern terhadap perbaikan industri alas kaki," kata Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Depperin, Anshari Bukhari, di Jakarta, Rabu (15/4).

Ia mengatakan, dana Rp55 miliar tersebut akan disediakan untuk 20 industri alas kaki dan 20 industri penyamakan kulit, yang ingin berinvestasi meremajakan mesin produksinya.

Anshari menjelaskan dana tersebut akan diberikan dalam bentuk diskon 10% untuk pembelian mesin dari luar negeri, dan 15% untuk pembelian mesin dari dalam negeri.

Program yang diperuntukkan bagi industri alas kaki dan penyamakan kulit ini tidak terbatas pada Perusahaan Milik Dalam Negeri (PMDN) saja, karena juga diperuntukkan bagi Perusahaan Milik Asing (PMA). "Kita tidak mau membedakan, yang penting mesinnya dari dalam negeri apa luar negeri," ujar Anshari.

Ia mengatakan animo masyarakat terhadap produk alas kaki dalam negeri akhir-akhir ini meningkat, terutama setelah para pejabat menggunakan sepatu produksi lokal. Karena itu prospek industri sepatu di tanah air diperkirakan akan membaik dan tidak lagi disebut sebagai sun set industry.

Program yang telah dipersiapkan sejak 28 Februari tersebut akan ditutup pada 30 Juni. Sedangkan nilai investasi mesin yang dapat memperoleh diskon, hanya yang seharga minimal Rp500 juta. (kpl/bar)

www.kapanlagi.com

Permintaan Lokal Tingkatkan Produksi Penyamakan Kulit

Jakarta, KP - Industri penyamakan kulit yang sempat menurun pada pasar ekspor, kini produksinya meningkat karena permintaan kulit dalam negeri semakin tinggi.

"Produsen kulit jelas tak mau menyia-nyiakan kesempatan bagus ini," kata Ketua Asosiasi Penyamakan Kulit (APKI), Senjaya, di Jakarta, Senin (22/6).

Ia mengatakan, banyak produsen sepatu lokal mengalihkan pembelian bahan baku kulit ke produsen dalam negeri, dan tentu saja pihaknya langsung mengalihkan penjualan dari pasar ekspor ke pasar lokal dalam negeri.

Hal tersebut, kata dia, berdampak positif untuk industri penyamakan kulit, yang terbukti dari produksi kulit yang melonjak hingga 25 persen, dari 60 juta kaki persegi (square feet) menjadi 75 juta square feet.

Menurut dia, kondisi tersebut sudah terasa sejak memasuki kuartal keempat 2008.

Perusahaan sepatu memilih kulit lokal karena impor kurang efisien, kata dia. Misalnya, mereka kesulitan melakukan `komplain’ saat terjadi kekurangan atau kesalahan atas produk yang mereka pesan.

``Selain itu, harganya juga mahal, apalagi saat krisis keuangan melanda,’’ ujar Senjaya.

Selain produsen sepatu `non branded’ (lokal), kata dia, pesanan juga datang dari perusahaan sepatu branded, seperti Bucheri dan Geox.

Kedua perusahaan ini telah mengalihkan semua pesanan bahan bakunya ke pemasok lokal, kata dia menambahkan.

Ia mengatakan, sebelumnya, produsen kulit mengandalkan pasar ekspor ke sejumlah negara tujuan seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Namun, kata dia, sejak pasar ekspor menurun, mereka mengalihkan penjualan ke pasar domestik, yang sedang mengalami lonjakan permintaan.

Industri penyamakan kulit bakal tambah bergairah lagi, kata dia, pasalnya, data Departemen Perindustrian menyebutkan, terdapat sekitar 22 perusahaan sepatu dunia berminat mengalihkan produksi ke Indonesia.

``Total investasinya mencapai 700 miliar dolar AS,’’ kata dia.

Hal tersebut, menurut dia, akan mendatangkan keuntungan bagi industri penyamakan kulit.(ant/K-7)

www.kalimantanpost.com

Pasokan Kulit Tahun 2009 Aman

JAKARTA. Beberapa waktu lalu, sempat mencuat kekhawatiran akan minimnya bahan baku untuk industri penyamakan kulit tahun depan. Menyusutnya jumlah sapi lokal mau tak mau membikin bahan baku menjadi langka dan produksi menyusut hingga 60%.

Namun, kekhawatiran itu kini perlahan mulai tertepis. Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) dan Deptan kini malah sudah mengirimkan dokumen kajian untuk Timur Tengah, Chile, dan Peru. Agit berharap, dokumen itu rampung dibahas oleh ketiga negara tersebut pada semester I tahun 2009. Dus, pada semester berikutnya, kulit bisa langsung bisa diimpor ke Indonesia sehingga pabrik di Indonesia bisa berproduksi maksimal. "Jika ini berhasil, maka defisit kulit akan teratasi," kata Sekretaris Jenderal APKI Agit Punto Yuwono (8/10).

Tak hanya pada ketiga negara itu, APKI dan Departemen Pertanian (Deptan) kian gencar merayu sembilan negara agar Indonesia mendapat limpahan kulit ternak mereka. Yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yaman, Kuwait, Turki, Somalia, Nigeria, Kenya, dan Iran.

Menurut catatan Agit, ada sekitar 100 pabrik penyamakan kulit di Indonesia. Pabrik tersebut terbagi menjadi dua kelompok, yaitu yang mengolah kulit sapi dan kerbau; serta kulit kambing dan domba.

Kapasitas produksi pabrik kulit sapi 140 juta kaki persegi atau 5 juta lembar yang berarti 5 juta ekor. Sayangnya, jumlah sapi yang dipotong di Indonesia kini hanya 2 juta ekor dari populasi sapi dan kerbau yang mencapai 10 juta ekor. Itu sebabnya, industri penyamakan kulit kekurangan bahan baku sebanyak 3 juta lembar.

Sementara itu, kapasitas terpasang pabrik kulit kambing dan domba mencapai 100 juta kaki persegi atau 20 juta ekor. Sementara populasi kambing dan domba di Indonesia hanya 15 juta ekor dan hanya 5 juta yang dipotong. Artinya, Indonesia kekurangannya 15 juta lembar kulit atau 15 juta ekor lagi untuk memenuhi kapasitas terpasang pabrik pengolahan kulit kambing dan domba.

Tahun ini APKI dan pemerintah telah berhasil melobi dua negara, yakni Ethiopia dan Sudan untuk mengimpor bahan baku kulit kambing dan domba sebanyak 500.000 lembar. Sayangnya, komitmen kedua negara ini hanya untuk satu hingga dua tahun saja. Karenanya, APKI dan pemerintah tengah agresif untuk bernegosiasi dengan beberapa negara demi memenuhi pasokan tersebut.

Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian Zaenal Bachrudin membenarkan jika ia sedang mengupayakan untuk mengatasi kelangkaan kulit didalam negeri. "Semua sedang kita upayakan," katanya, singkat.



Abdul Wahid Fauzie,Femi Adi Soempeno
www.kontan.co.id

Empat Pabrik Kulit Dibangun untuk Pasar Ekspor

JAKARTA. Krisis bahan baku kulit tidak menghalangi niat para investor untuk membenamkan duitnya pada industri ini. Hingga saat ini, ada empat perusahaan asing dan lokal yang berniat melakukan pembangunan pabrik sarung tangan kulit.

Keempat perusahaan yang berencana menjajal peruntungan tersebut adalah PT Laurige Asia yang berlokasi di Surabaya dengan kapasitas 75.000 unit setahun. Selain itu, PT Sport Glove Indonesia yang berlokasi di Tangerang dengan kapasitas 4,3 juta unit, lalu PT Sinar Kencana Makmur Jaya dan PT Sanku Glove di Gamping, Sleman, Yogyakarta, masing-masing berkapasitas 2 juta unit. "Total investasinya mencapai US$ 6 juta," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyamakan Kulit (APKI) Agit Punto Yuwono, Jumat (10/10).

Rencananya, keempat perusahaan ini akan merampungkan pembangunan pabriknya pada tahun depan, dan hasil produksinya akan dilempar untuk pasar Eropa. Menurut Agit, krisis bahan baku kulit membuat keempat perusahaan ini mengimpor kulit dari berbagai negara, di antaranya Brazil, Turki, dan Yaman.

Walau sedang mengalami krisis bahan baku, APKI tidak berencana meminta kepada pemerintah untuk memasukkan industri ini dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Soalnya, dengan 100 perusahaan yang telah eksis saja belum mampu memenuhi permintaan penyamakan kulit. "Baru kita penuhi sebesar 40% hingga 50%," tegasnya.

Bukan hanya itu, jika masuk dalam DNI, maka perusahaan tersebut akan membangun pabriknya di luar Indonesia, sehingga perusahaan kulit dalam negeri bakal kesulitan untuk mendapatkan kulit. "Jadi, nantinya ada persaingan untuk mendapatkan kulit dengan negara lain," paparnya.

Direktur Industri Aneka Departemen Perindustrian (Depperin) Budi Irmawan membenarkan adanya empat perusahaan yang sedang berniat membangun pabriknya dengan total investasi sebesar US$ 6 juta hingga US$ 10 juta. "Semua barang produksinya akan diekspor," tegasnya.


Abdul Wahid Fauzie
www.kontan.co.id

Industri Penyamakan Kulit Tertolong Pesanan Lokal

JAKARTA. Para pemain di industri penyamakan kulit boleh bernafas lega. Saat pasar ekspor tengah melesu, permintaan kulit dalam negeri justru meningkat. Kondisi ini sudah terasa sejak memasuki kuartal keempat 2008.

Tentu hal ini berdampak positif buat industri penyamakan kulit. Buktinya, saat ini produksi mereka melonjak hingga 25%, dari 60 juta kaki persegi (square feet) menjadi 75 juta square feet.

Permintaan kulit di pasar domestik naik lantaran permintaan dari sejumlah produsen sepatu meningkat. "Banyak produsen sepatu mengalihkan pembelian bahan baku kulit ke produsen lokal," ujar Ketua Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (Apki) Senjaya, Rabu (11/2).

Produsen kulit jelas tak mau menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Mereka langsung mengalihkan penjualan dari pasar ekspor ke pasar dalam negeri.

Selain produsen sepatu non branded (lokal), pesanan juga datang dari perusahaan sepatu branded, seperti Bucheri dan Geox. Asal tahu saja, kedua perusahaan ini telah mengalihkan semua pesanan bahan bakunya ke pemasok lokal.

Perusahaan sepatu memilih kulit lokal karena impor kurang efisien. Misalnya, mereka kesulitan melakukan komplain saat terjadi kekurangan atau kesalahan atas produk yang mereka pesan. "Selain itu, harganya juga mahal," ujar Agit Punto Yuwono, Sekretaris Jenderal Apki.

Sebelumnya, produsen kulit mengandalkan pasar ekspor ke sejumlah negara tujuan seperti Amerika Serikat dan Eropa. Tapi sejak pasar ekspor menurun, mereka mengalihkan penjualan ke pasar domestik, yang sedang mengalami lonjakan permintaan.

Tampaknya, industri penyamakan kulit bakal tambah bergairah lagi. Soalnya, data Departemen Perindustrian menyebutkan, terdapat sekitar 22 perusahaan sepatu dunia berminat mengalihkan produksi ke Indonesia. Total investasinya mencapai US$ 700 miliar.

Sudah tentu, ini bakal mendatangkan berkah keuntungan bagi industri penyamakan kulit. “Ini potensi pembeli baru buat industri penyamakan kulit," ujar Direktur Industri Aneka Departemen Perindustrian (Depperin) Budi Irmawan.


Nurmayanti

www.kontan.co.id

Penyamakan Kulit

Bisnis kulit memang menguntungkan karena pasar masih terbuka lebar. Namun untuk memulainya, pengusaha membutuhkan modal besar. Dengan modal Rp 200 juta, pengusaha hanya dapat memiliki 4 molen dan dikategorikan sebagai pengusaha kecil. Namun, bisnis penyamakan kulit tidak harus memiliki mesin yang banyak. Pengusaha yang tidak memiliki modal peralatan yang cukup dapat menggunakan mesin milik pengusaha besar asal memberikan bayaran yang sesuai.

Selain mesin, pengusaha pun harus membeli bahan-bahan kimia untuk proses penyamakan kulit. Bahan-bahan kimia tersebut harganya sangat mahal karena sebagian besar masih impor dari Eropa. Hanya kapur dan garam yang tidak perlu impor, sedangkan sisanya yang mencapai 60% dari kebutuhan harus mengimpor. Namun, keuntungan yang diperoleh pun dapat selangit bila pengusaha mampu membaca peta pasar.

Menurut seorang pengusaha, Moch. Yusuf Tojiri, pasar masih sangat luas. Jangankan untuk pasar internasional, pasar lokal dan nasional pun masih memiliki banyak celah. Namun, bagi pengusaha kecil masih sulit untuk mencari celahnya. Keterbatasan dana pun masih menjadi masalah. Ketika ada pesanan yang cukup besar, mereka terpaksa menolaknya karena modal tidak mencukupi. Bagi pengusaha kecil, hingga saat ini masih sangat berat untuk tetap bertahan. Selain terbatasnya kualitas dan kuantitas hasil produksi, mereka pun minim akses terhadap pasar yang lebih luas. Barang hasil produksi mereka hanya untuk memenuhi pasar lokal.

Namun berbeda bagi pengusaha besar, gairah kebangkitan mulai terasa. Mereka mampu menjual hasil produksinya ke hampir seluruh tempat di Indonesia, bahkan sudah diekspor melalui perusahaan pengekspor ke beberapa negara seperti Australia, Singapura, Malaysia, dan Cina.

Proses dalam industri penyamakan kulit bertujuan untuk merubah kulit hewan menjadi lembaran-lembaran kulit jadi yang siap untuk dipergunakan menjadi bahan baku produk kulit
seperti : sepatu, tas, kerajinan, dll.

Walaupun terlihat cukup prospektif, menurut para perajin dan pengusaha toko, bisnis
kerajinan kulit sedang lesu. Ketika awal perkembangannya, bisnis ini sempat menghasilkan
keuntungan besar bagi pengusahanya karena belum banyak saingan. Namun, seiring dengan
pertumbuhan jumlahnya, persaingan sering dikatakan tidak sehat lagi. Saat ini persaingan
bukan lagi dari kualitas barang, tetapi pada harga sehingga sering terjadi saling banting harga
antar sesama pengusaha.

Hambatan lainnya adalah masalah permodalan dan pasar. Mereka mengharapkan agar
pemerintah membantu membuka pasar dan mempermudah permodalan. Dulu, pasar cukup
baik karena konsumen datang sendiri ke tempat usaha mereka. Namun sejak krisis ekonomi,
pendatang semakin sepi. Kalaupun ada yang datang, mereka hanya mencari barang yang
murah dan tidak terlalu memerhatikan kualitas.

Selain tantangan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan membuka pasar, ada satu hal
lagi yang juga menjadi tantangan bagi para pengusaha kulit. Persoalan limbah sering kali
menjadi isu penting. Sejak digunakannya bahan kimia untuk penyamakan kulit, pada saat itu
pula persoalan limbah muncul. Bahan chroom yang digunakan untuk menyamak kulit ternyata
sangat berbahaya bagi kesehatan, terutama sekali pada kulit manusia. Protes pun mulai
bermunculan karena banyaknya warga di daerah hilir sungai yang mengalami gangguan
kesehatan kulit. Persoalan limbah ini memunculkan ide dan rencana-rencana untuk
mengantisipasi peningkatan jumlah limbah yang dibuang ke sungai.

Alat dan mesin yang digunakan dalam melakukan proses penyamakan adalah sebagai berikut :
  • Timbangan, berfungsi untuk mengetahui berat kulit dan bahan-bahan kimi yang akan digunakan.
  • Pisau seset atau pisau fleshing, digunakan untuk membuang daging yang masih melekat pada kulit saat proses buang daging.
  • Papan kuda-kuda, digunakan untuk meniriskan atau menggantung kulit setelah proses penyamakan
  • Papan pentang, digunakan untuk mementang kulit agar kulit lebih lemas dan memperoleh luas yang maksimal.
  • Mesin ampelas, digunakan untuk meratakan bagian dalam kulit sehingga diperoleh kulit yang lebih tipis dan lemas.
  • Meja dan papan staking, digunakan untuk melemaskan dan menghaluskan kulit yang dikerjakan secara manual.
  • Drum milling, digunakan untuk melemaskan dan menghaluskan kulit yang telah disamak.
  • Drum putar (Tannning Drum), digunakan pada proses perendaman, pencucian, serta proses-proses lain yang mengunakan air dan bahan-bahan kimia.
  • Alat-alat lain yang digunakan adalah spraying, ember, corong plastik, selang air, gunting, pisau dan kertas pH.

Proses Penyamakan Kulit

Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam proses pengolahan kulit adalah sebagai berikut :

• Sortasi dan penimbangan

Merupakan tahap persiapan kulit sebelum dilakukan proses penyamakan. Tahap ini
merupakan tahap dimana kulit diseleksi untuk menetukan mana kulit yang layak untuk diproses. Setelah dilakukan seleksi maka kulit di timbang.

• Proses perendaman (Soaking)

Perendaman bertujuan untuk melemaskan kulit terutama kulir kering, sehingga mendekati
kulit hewan yang baru lepas dari badannya. Perendaman juga bertujuan untuk membuang
darah, feces, tanah dan bahan atau zat-zat asing yang tidak hilang pada waktu pengawetan.
Bahan yang digunakan adalah air, teepol, soda abu.

• Proses pengapuran (Liming)

Tujuan dari pengapuran adalah untuk membengkakkan kulit, mempermudah pembuangan
bulu, epidermis dan lain-lain selama 24 jam. Bahan yang digunakan adalah air, natrium

sulfida, kapur.

• Proses buang daging (Fleshing)
Kulit yang masih terdapat daging dihilangkan dengan pisau seset atau dengan mesin buang
daging.

• Proses pengapuran ulang (Relimming)

Bertujuan untuk menghilangkan bulu dan zat-zat yang masih tertinggal pada kulit pada proses
pengapuran. Bahan yang digunakan adalah air, dan kapur.

• Proses buang kapur (Delimming)

Proses buang kapur ini bertujuan untuk membuang sisa-sisa kapur, baik yang terikat maupun
tidak terikat dalam kulit. Bahan yang digunakan antara lain air, ZA, H2SO4 yang telah

diencerkan 10X dengan air.

• Proses pengikisan protein (Bating)

Proses ini bertujuan untuk memecahkan zat kulit dengan khemikalia yang mengandung
protein. Bahan bating yang digunakan adalah oropon.

• Proses pembuangan lemak (Degreasing)

Bertujuan untuk membuang sisa-sisa lemak baik setelah pickle maupun sebelum proses
penyamakan.bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain iragol Daatau sandopan DTC.

• Proses pengasaman (Pickling)

Bertujuan untuk mengasamkan kulit pada pH 3 – 3,5. bahan pickle berasal dari asam-asam
organik lemah seperti format dan laktat, selainitu juga menggunakan air, garam, HCOOH dan
H2SO4.

• Proses penyamakan (Tanning)

Tanning bertujuan untuk menghindari kekakuan dan kekerasan kulit, sehingga kulit tetap
lemas ketika dalam keadaan kering dan dapat bertahan lama. Bahan-bahan yang digunakan
dalam proses ini diantaranya adalah mimosa, krom, formalin, Na2CO3.

• Proses penggantungan (Aging)

Setelah proses tanning maka kulit akan mengalami proses aging, dimana kulit digantungkan
di atas kuda-kuda kayu dan biarkan agak kering tanpa penjemuran dengan sinar matahari.
Setelah itu kulit ditimbang dan di cuci selama 15 menit.

• Proses netralisasi (Neutralization)

Bertujuan untuk menetralkan asam bebas yang berada pada kulit. Bahan-bahan yang dipakai
untuk netralisasi yaitu bahan-bahan yang bersifat alkalis.

• Proses penyamakan ulang (Retanning)

Penyamakan ulang dimaksudkan untuk memberikan sifat unggul yang lebih baik yang dimiliki
bahan penyamak lain. Bahan yang digunakan dalam proses ini adalah bahan penyamak
sintesis, nabati atau mineral.

• Proses pewarnaan dasar (Dyeing)

Proses ini bertujuan untuk memberikan warna dasar pada kulit tersamak agar dapat
memperindah penampakan kulit jadi. Bahan yang digunakan antara lain air, leveling agent, cat
dasar, asam formiat.

• Proses peminyakan (Fat Liquoring)

Proses peminyakan bertujuan untuk mendapatkan kulit samak yang lebih tahan terhadap
gaya tarikan atau gaya mekanik lainnya, disamping itu untuk menjaga serat kulit agar tidak
lengket satu dengan lainnya, sehingga kulit lebih lunak dan lemas. Bahan yang digunakan
adalah air, minyak sulphonasi dan ditambahkan anti jamur.

• Proses fixasi (Fixation)

Proses ini bertujuan untuk memecahkan emulsi minyak dan air sehingga airnya mudah
menguap pada saat dikeringkan. Bahan kimia yang digunakan adalah HCOOH yang telah
diencerkan 10X dengan air, dan ditambahkan anti jamur.

• Proses pengeringan (Drying)

Tujuan dari proses pengeringan ini adalah mengurangi kadar air bebas di dalam kulit secara
bertahap tanpa merusak kulit, zat penyamak dan minyak yang ada di dalam kulit, caranya
dengan menggantung kulit pada kuda-kuda kayu dan diangin-anginkan.

• Proses penyelesaian

Pada proses ini kulit di beri binder, pigment, penetrator, filler, wax, thinner atau lack sesuai
dengan tujuan penggunaan kulit samak tersebut. Kulit yang telah di cat dan dikeringkan lalu
disetrika atau diembosh untuk memberi motif pada permukaan kulit dan memperindah
penampakannya

Faktor utama dan pendukung industi pengolahan kulit:
  1. Permintaan akan kebutuhan bahan baku kulit bagi peusahaan besar yang sangat banyak
  2. Tersedianya bahan baku didaerah tersebut menyebabkan Industri kulit dapat berkembang dan menjadi mata pencaharian di daerah tersebut.
  3. Berada di daerah tropis yang memiliki kelembapan rendah dapat mendukung dalam pengolahan khususnya proses penjemuran
  4. Industri kulit merupakan industri yang menjanjikan bila dikelola dengan baik.

Proses Produksi

Proses dalam industri penyamakan kulit bertujuan untuk merubah kulit hewan menjadi
lembaran-lembaran kulit jadi yang siap untuk dipergunakan menjadi bahan baku produk kulit
seperti : sepatu, tas, kerajinan, dll.

Proses dalam industri penyamakan kulit dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

• beamhouse process
• tanhouse, dan
• finishing process.

Proses penyamakan kulit terdiri atas beberapa tahap pemrosesan. Tahap awal pemrosesan
menggunakan mesin Moln dan mesin Splitting. Mesin Moln memiliki kemampuan mengolah
sejumlah kulit mentah sekaligus dalam sekali proses sebagai sebuah batch. Ukuran batch
dibatasi oleh kapasitas Mesin Moln. Sedangkan Mesin Splitting mengolah kulit lembar per
lembar. Dengan demikian, pada proses penyamakan kulit mengalami dua jenis pemrosesan,
pemrosesan secara batch pada mesin Moln dan secara job (lembar per lembar) pada mesin
Splitting. Dengan perkataan lain, mesin Moln merupakan mesin pengolah batch (batch
processing machine) dan mesin Splitting merupakan mesin pengolah job (discrete machine).

Pada prakteknya penggunaan dua jenis mesin ini memerlukan metoda penjadwalan yang baik agar tidak terjadi tumpukan kulit yang menunggu untuk diproses. Kegiatan penjadwalan yang diperlukan meliputi pengelompokkan produk ke dalam batch (batching), pengurutan pengerjaan batch yang dihasilkan dan pengurutan pengerjaan produk pada mesin pengolah job.

Dibutuhkan model penjadwalan produk yang menggunakan mesin pengolah batch dan mesin pengolah job pada sistem manufakturnya. Adapun tipe sistem manufakturnya bertipe
flowshop. Model yang dihasilkan merupakan pengembangan dari model Mixed Integer
Programing dari Ahmadi et al [1992]. Terdapat empat model yang dihasilkan.
Model 1 adalah model penjadwalan flowshop dua tahap dengan routing dari mesin pengolah batch ke mesin pengolah job.
Model 2, penjadwalan flowshop dua tahap dengan routing dari mesin pengolah job ke mesin pengolah batch.
Model 3 adalah model penjadwalan flowshop tiga tahap dengan routing dari mesin pengolah batch A kemudian ke mesin pengolah job dan terakhir ke mesin pengolah batch B.
Model 4 adalah model penjadwalan flowshop tiga tahap dengan routing dari mesin pengolah job A kemudian ke mesin pengolah batch dan terakhir ke mesin pengolah job

B. Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Industri Penyamakan Kulit

Industri Penyamakan Kulit yang menggunakan proses Chrome Tanning menghasilkan limbah cair yang mengandung Krom. Krom yang dihasilkan adalah krom bervalensi 3+ (trivalen) yang diperoleh dari proses penyamakan Krom (chrome tanning). Limbah cair maupun lumpurnya yang mengandung Krom Trivalen ini dapat membahayakan lingkungan karena Krom Trivalen dapat berubah menjadi Krom Heksavalen pada kondisi basa yang merupakan jenis limbah B3 yang dapat membahayakan bagi kesehatan.

Jenis Limbah

Dari proses penyamakan kulit secara garis besar limbah industri penyamakan kulit dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:

1. Limbah Cair
2. Limbah Padat
3. Limbah Gas

Penanganan Limbah

1. Penerapan Cleaner Production

Produksi bersih adalah strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu dilaksanakan secara terus menerus pada proses produksi sehingga mengurangi resiko negative terhadap manusia dan lingkungan. Produksi bersih pada proses produksi berarti meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan bahan baku, energi, dan sumber daya lainnya, serta mengganti atau mengurangi jumlah dan toksisitas seluruh emisi dan limbah sebelum keluar dari proses. Pencegahan, pengurangan, dan penghilangan limbah atau bahan pencemaran pada sumbernya merupakan elemen utama dari produksi bersih. Kegiatan yang merupakan penerapan produksi bersih adalah:

• Penghematan pemakaian air pencucian/pembilasan
• Penghematan pemakaian zat kimia, misalkan penyamakan menggunakan garam krom dengan kadar larutan cukup dengan 8% tidak perlu dipakai 12%
• Modifikasi proses, seperti pada proses pengapuran menggunakan drum dengan jumlah bahan-bahan yang dipakai dapat dikurangi (air, kapur, sulfida) atau dengan pemisahan cairan pada proses buang bulu dan pengapuran.
• Pemakaian teknologi dan peralatan yang tepat.

2. Pemisahan Krom

Krom dapat dipisahkan dari cairan buangan dengan jalan mengendapkan kembali sebagai Krom Hidroksida dengan jalan penyaringan yang kemudian di daur ulang dengan cara sbb: Air buangan dari penyamakan kromdan air pencucian (sebanyak 2 x 100% air) yang sudah bebas dari padatan diberi larutan magnesium hidroksida, dan diendapkan kira-kira 10 jam, yang kemudian cairan dipindahkan ke bak lain (dengan pipa penyedot, tetapi jangan sampai endapannya ikut tesedot). Cairan tersebut bila benar-benar bebas dari endapan akan mengandung Krom kurang dari 2 ppm sehingga bias langsung dibuang atau dipakai untuk daur ulang.

Endapan yang terjadi kemudian ditambah asam sulphat yang sesuai, endapan tersebut akan larut dalam waktu sekitar 15 menit dan akan memberikan suatu larutan Krom sebesar 50 gram krom oksida/liter. Pada daur ulang proses selanjutnya masih membutuhkan penambahan Krom kira-kira sejumlah 30%.

3. Pemanfaatan Limbah

Limbah padat dapat digunakan untuk :
• pakan ternak
• pupuk
• lem kayu
• asbes, hardboard
• Bahan pembuat karpet


Sumber
  1. Judoamidjodjo, Mulyono. 1981. Defek-defek Pada Kulit Mentah dan Kulit Samak. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
  2. Purnomo, B. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.
  3. Sumarmi, Bambang Oetoyo, Sri Untari, Widari, Rifan, Hadi, Muhtar Lutfi, Hasan Basamalah,Herryanto. 1989. Pedoman Pengawetan Kulit Mentah. BBKKP. Kanisius. Yogyakarta.
Sumber

  1. Judoamidjodjo, Mulyono. 1981. Defek-defek Pada Kulit Mentah dan Kulit Samak. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
  2. Purnomo, B. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit. Yogyakarta.
  3. Sumarmi, Bambang Oetoyo, Sri Untari, Widari, Rifan, Hadi, Muhtar Lutfi, Hasan Basamalah,Herryanto. 1989. Pedoman Pengawetan Kulit Mentah. BBKKP. Kanisius. Yogyakarta.
http://digilib.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbpp-gdl-s2-2005-yusufmaulu-1815
http://majalah-handicraft.jogja.com/?UncgL0ZlWjNWRi9JblVkUmhOIHk%3D=
http://www.dkp.go.id/content.php?c=2387
http://www.dprin.go.id/data/industry/abstech/abs_0407.htm
http://www.garut.go.id/dynamic__news_body_print.php?id_news=141
http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=7
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/06/ekonomi/116464.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0302/19/jatim/137689.htm
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/13/0108.htm
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0104/13/0806.htm

dari : mindgreen.multiply.com/journal

 
 
 
Powered By Blogger